Purwasaba adalah sebuah desa dikecamatan Mandiraja,kabupaten
Banjarnegara,Provinsi Jawa Tengah. Purwasaba memiliki luas wilayah 228.500 Ha
dengan jumlah penduduk 7.012 jiwa. dengan potensi wilayah yang strategis dengan
diapit 8 desa tetangga dan jumlah penduduk yang cukup besar, sehingga Purwasaba
dapat berkembang menjadi desa yang cukup maju.
Sejarah
Pemerintahan
Dahulu kala wilayah Desa Purwasaba masuk kedalam wilayah
kekuasaan Kerajaan Galuh Purba, jauh sebelum Majapahit. Wilayah ini belum
berpenghuni dan belum bernama Purwasaba. Tidak diketahui secara pasti mulai
kapan wilayah ini menyandang nama purwasaba.
Wilayah Purwasaba saat zaman kekuasaan wilayah Mataram Islam
Masuk kedalam Wilayah Bagelan,Negaraagung. Sistem pemerintahan zaman Sultan
Agung wilayah mataram terbagi secara konsentris menjadi tiga lapis wilayah
kekuasaan yaitu Kutanegara,negaraagung dan mancanegara.
Pada 27 September 1830, terjadi perjanjian Giyanti.
Penandatanganan kesepakatan antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah
Kasultanan Mataram yang berisi tentang pembagian Wilayah administratif Jawa.
Termasuk didalamnya Wilayah Bagelan diserahkan Kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Secara otomatis termasuk Wilayah Purwasaba masuk kedalam kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda.
Demang Kramayudha(mas kramayudha),beliau adalah Kepala
Pemerintahan yang memimpin Purwasaba Saat itu. Pernah Menjabat sebagai Patih di
Dayeuh Luhur yang saat itu dipimpin oleh Regent Raden Tumenggung Prawiranegara.
Atas dugaan membantu Pangeran Diponegoro R.T. Prawiranegara dicopot dari
jabatannya. Dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831
no.184 Kadipaten Dayeuh Luhur merosot
diturunkan statusnya menjadi kepatihan(pattehschap) Dayeuh-Luhur
Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas Kramayudha. Menurut Residen
Banyumas Mr. G. de Seriere, Mas Kramayuda adalah pejabat yang sangat giat, ikut
mendirikan bangunan dicilacap,ikut membangun terusan dan hidup dirawa-rawa.oleh
karena itu sakit dan tidak dapat keluar dari rumahnya. Bisa dikatakan mas
kramayuda adalah korban pejabat ketiga pembangunan terusan di cilacap. Akibat
usul Residen Banyumas Mr. G. de Seriere memindahkan ibukota Pattehschap
Dayu-Luhur dari majenang ke cilacap (sekarang). Menurut Mangkoewinata, Mas
Kramayuda lebih suka dipensiunkan atau diturunkan pangkatnya menjadi Wedana,
asalkan tidak ditempatkan dicilacap, sebab saat itu cilacap sangat angker.
Nyi Mas Kramayudha adalah istri dari Mas Kramayudha, Beliau
mendampingi suaminya dalam menjalankan tugas kenegaraan, memimpin pemerintahan.
Mengatur Tata Letak pusat Pemerintahan sesuai pakem pada saat itu. Mereka
dikaruniai dengan beberapa putra.
Nyi mas kramayudha adalah anak kelima dari Kramaleksana
dengan istrinya Rara Rinten.
Menurut
beberapa sumber salah satunya Babad Sruni, Kramaleksana mempunyai istri dua
orang. Isteri pertama adalah anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni, sedangkan
isteri kedua adalah anak dari Raden Tumenggung Wiraguna kartasura. Dari
keduanya Kramaleksana memiliki lima belas (15) orang anak yaitu :
- Ngabehi Wiryakrama, mantri Gunung ing Tlagagapitan; (salah satu putrinya dijadikan isteri kelangenan dari Sultan Hamengku Buwana II dan bergelar Bandara Raden Ayu Nilaresmi, kemudian menurunkan Gusti Raden Ayu Pringgadirja).
- Mbok Mas Dipayuda.
- Ngabehi Kramadirja, Mantri Nangkil Ngayogyakarta. Setelah selesai bertugas, ia kemudian kembali ke Selang dan berganti nama menjadi Ki Kramasentika, akan tetapi oleh masyarakat setempat kemudian lebih dikenal sebagai Ki Kramareja.
- Mbak Mas Rara Ketul, kemudian menjadi isteri Kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu Handayahasmara, kemudian menurunkan : Bandara Pangeran Harya Hadikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya Balitar.
- Mbok Mas Kramayuda.
- Ki Secawijaya, setelah menjadi Mantri Nangkil ing Ngyogyakarta menggantikan saudara laki lakinya kemudian bergelar Ngabehi Kramadirja.
- Ki Kramadiwirya.
- Ngabehi Resadirja, menikah dengan cicit/buyut Mangkunegaran Sambernyawa Surakarta.
- Ngabehi Kramataruna.
- Ki Kramatirta.
- Ki Resadiwirya
- MBok Mas Wiryayuda (Setrareja).
- Mbok Mas Resapraja (Kramasentika).
- Ki Honggawijaya, setelah menjadi Mantri bergelar Ngabehi Kramayuda, isterinya dari Surakarta, dan menurunkan salah satunya Ngabehi Jayapranata yang di kemudian hari menjadi Patih Mangkunegaran. Anak perempuan Ngabehi Jayapranata dijadikan isteri kelangenan Pangeran Mangkunagara III dan bergelar Mas Ajeng Handayaresmi, menurunkan dua orang yakni Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning (menikah dengan Pangeran Harya Gandahatmaja anak dari Pangeran Adipati Mangkunagara IV Surakarta).
- Mbok Mas Jawidenta.
Anak – anak
Kramaleksana tersebut di atas, mulai dari nomor 1 hingga 5 dilahirkan dari
isteri pertamanya (Puteri Tumenggung Kertinegara Sruni), sedangkan anak nomor 6
hingga 15 dilahirkan dari isteri kedua (Puteri Tumenggung Wiraguna Kartasura).
Leluhur dari
Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Alur leluhur
Kramaleksana diketahui berasal dari Kyai Aden. Ada perbedaan pendapat mengenai
sosok Kyai Aden. Dalam Babad Sruni, Kyai Aden ditulis sebagai anak dari Jaka
Lancing (Mbah Lancing). Sedangkan menurut Sarasilah (silsilah Raja – raja Jawa)
halaman 40 diketahui bahwa Kyai Aden adalah guru dari Raden Jaka Lancing. Raden
Jaka Lancing/Raden Banyak Patra/Harya Surengbala/Panembahan Madiretna adalah
anak ke 50 dari Brawijaya V (Raden Alit) yang lahir dari isteri selir dan
sengaja diserahkan kepada Kyai Aden Gesikan untuk dididik.
- Kyai Aden Gesikan, berputra;
- Kyai Sutamenggala (Sruni), berputra;
- Kyai Sutapraja (Sruni), berputra;
- Kyai Kramayuda (Sruni), berputra (diantaranya);
- Kyai Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Leluhur dari
Nyai Kramaleksana (isteri pertama)
Dari Babad
Sruni diketahui bahwa Nyai Kramaleksana yang merupakan anak dari Tumenggung
Kertinegara Sruni memiliki alur Majapahit sebagai berikut:
- Prabu Brawijaya terakhir menurunkan;
- Raden Jaka Pekik/Harya Jaranpanolih Sumenep (Saudara Jaka Lancing), berputra;
- Harya Leka (Sumenep), berputra;
- Jambaleka (Sumenep), berputra;
- Ki Mas Manca/Harya Mancanagara (Patih Pajang), berputra;
- Ki Mas Tumenggung Pramonca (Sruni), berputra;
- Raden Tumenggung Kertinegara I (Sruni), berputra;
- Kertileksana, Kertisentika, Rara Rinten (dari isteri pertama), dan Rara Ranti (dari isteri kedua). Rara Rinten kemudian dinikahkan dengan Kramaleksana dan menurunkan Bandara Raden Ayu Handayasmara. Sedangkan Rara Ranti dinikahkan dengan Putra dari Sutawijaya (Kutowinangun/Merden).
Tata letak
Dusun Krajan Pra-Desa Purwasaba, dibentuk dengan pakem Mataram Islam yang digambarkan Panembahan Senopati dengan
jejuluk Pangeran lor ing Pasar. Dari para pinisepuh diceritakan ada dua buah
tugu sejajar disebelah utara pasar,dulu tugu-tugu itu sering diberikan sesaji
sebagai tanda penghormatan kepada kekuatan gaib yang bertugas sebagai penjaga
tugu tersebut. Tugu selatan sebagai pembatas antara Pasar dan kediaman sang
demang, tugu utara sebagai pembatas utara. Sekarang tugu-tugu itu telah hancur
dan tidak lagi diperlakukan seperti dulu, karena pemahaman masyarakat akan
nilai-nilai agama semakin meningkat. Anak yang tumbuh dikisaran tahun 90an tentu
tidak asing dengan cerita tentang ‘setan
jaran’ yang berada +200 m disebelah timur
tugu, dikarenakan dahulu kala ada kuda yang dikuburkan disitu, mitos ini
berkembang karena ketidak tahuan dan juga karena nilai-nilai mistis masyarakat
yang masih merekat begitu kuat. Namun, mitos tersebut ternyata memiliki nilai
sejarah tersendiri, dikarenakan disebelah utara kuburan kuda yang sekarang
hanya kebun biasa dulunya adalah kandang kuda milik demang. Dipasar sendiri
dahulu ada dua beringin besar yang berdiri kokoh. Dari kediaman sang Demang
sampai dengan pemandian kalimundu
terdapat sebuah jalan yang sekarang disebut galur. dahulu kala, ada larangan
tidak boleh ada orang yang membangun rumah ataupun bangunan lainnya yang nylekadang (menghalangi) sepanjang
galur/jalur kediaman demang sampai kalimundu,apabila dilanggar akan
celaka,dikarenakan itu adalah jalan khusus yang demang lalui untuk menuju
kepemandian.
Kalimundu adalah sebuah tempat pemandian umum
yang berada ditengah pematang sawah sebelah selatan pasar Purwasaba. Tempat ini
dipercaya memiliki nilai mistis tersendiri oleh sebagian masyarakat. Terdapat
mitos bahwa Demang Kramayuda meninggal di Pemandian Kalimundu.
Tidak
diketahui darimana kisah kematian sang demang berasal,namun cerita kematian
Sang Demang sudah sangat umum ditelinga masyarakat Purwasaba hingga saat ini.
·
Alkisah, sang Demang memiliki kemampuan merubah dirinya menjadi sebatang
kayu, dikarenakan sang Demang memiliki hobi melihat “barange wong wadon” maka dia merubah dirinya menjadi sebatang kayu
tatakan yang biasanya berada ditepi kolam.namun, ada petani yang habis ‘macul’/ bertani saat mencuci cangkulnya ia menancapkan cangkul
tersebut kebatang kayu dan keluarlah darah sehingga sang Demang meninggal.
·
Versi cerita kedua adalah karena sang demang suka melihat wanita mandi, ia
ingin melihat “barange wong wadon”/
kemaluan wanita se-Purwasaba. Maka ia melakukan tindakan bunuh diri dengan memotong
urat nadinya hingga meninggal, berharap bisa melihat orang mandi setiap hari.
Di zaman
modern ini,apabila kita mau menganalogikan dengan akal, kedua cerita tersebut
diatas sangat tidak masuk diakal, terlalu mengada-ada dan diadakan. Alasannya :
1. Mas Kramayuda sampai dengan akhir hayatnya hanya memiliki satu orang istri, hal itu membuktikan beliau adalah orang yang setia.padahal dengan kedudukannya sebagai patih atau jabatan sesudahnya, memiliki istri banyak pada saat itu sudah menjadi hal yang wajar.
2. Demang Kramayudha tidak memiliki kemampuan berubah menjadi kayu.
3. Kehormatan pejabat dengan jabatannya sangat tinggi. Tidak mungkin menyengaja melakukan perbuatan hina untuk menurunkan kehormatannya.
4. hukum VOC pada saat itu sudah cukup ketat, penghilangan nyawa apapun alasannya. Apalagi korbannya seorang Pejabat seharusnya mendapat sangsi hukum. Namun, ternyata kasus itu tidak pernah sampai kepengadilan,hal itu dapat terjadi apabila beliau bertentangan dengan pihak VOC.
1. Mas Kramayuda sampai dengan akhir hayatnya hanya memiliki satu orang istri, hal itu membuktikan beliau adalah orang yang setia.padahal dengan kedudukannya sebagai patih atau jabatan sesudahnya, memiliki istri banyak pada saat itu sudah menjadi hal yang wajar.
2. Demang Kramayudha tidak memiliki kemampuan berubah menjadi kayu.
3. Kehormatan pejabat dengan jabatannya sangat tinggi. Tidak mungkin menyengaja melakukan perbuatan hina untuk menurunkan kehormatannya.
4. hukum VOC pada saat itu sudah cukup ketat, penghilangan nyawa apapun alasannya. Apalagi korbannya seorang Pejabat seharusnya mendapat sangsi hukum. Namun, ternyata kasus itu tidak pernah sampai kepengadilan,hal itu dapat terjadi apabila beliau bertentangan dengan pihak VOC.
·
Versi ketiga, Perang Jawa atau perang Diponegoro (1825-1830) sangat memberikan dampak kerugian dan traumatis bagi VOC, hal ini mempengaruhi pada kebijakan-kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang diambil oleh VOC. Dalam rangka memuluskan jalannya kepentingan VOC di jawa,mereka berusaha mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan Mataram, memecah Mataram menjadi Kasunanan dan Kasultanan yang sering disebut dengan “Pangalihan Nagari”, mengambil alih wilayah Negaraagung dan Mancanegara Mataram, mengganti pejabat-pejabat yang anti Kolonial, menata administratif Jawa. Sebagai contoh, Bupati banjar ketiga Dipoyono ditemukan meninggal bunuh diri tanpa sebab yang jelas, R.Tumenggung Prawiranegara dibuang ke banda, ada yang mengatakan karena dianggap gila dibuang ke Padang. Begitu juga dengan Mas Kramayuda, keterlibatannya dalam membantu Pangeran Diponegoro melalui R.T. Prawiranegara dan juga konflik kebijakan karena pada saat itu didaerah” Penguasaan banyak terjadi Dualisme kepemimpinan antara eks Pejabat Mataram dan juga Pejabat-pejabat baru bentukan kolonial. Pada saat itu sisa Kadipaten Pecahan Wirasaba yang masih berdiri adalah Kadipaten Banyumas di Banyumas. sedangkan diarah timur hanya tersisa Banjar(watu Lembu) yang berada disebelah Utara sungai serayu sedangkan kadipaten wirasaba sendiri dan kadipaten merden sudah turun status menjadi Desa biasa. Purwasaba bukanlah bagian dari Kadipaten Merden maupun Banyumas, ketidak jelasan pengaturan administratif dan batas wilayah Banjarnegara saat itu menyulitkan Pihak Kolonial didalam menentukan dan menerapkan kebijakannya. Salah satu ‘duri dalam daging’ adalah mas kramayuda,yang dikhawatirkan akan melakukan gerakan perlawanan membantu pejuang-pejuang bangsa pada saat itu. Apalagi kalo kita mau menilik sejarah bahwa kakek dari nyi mas kramayuda yaitu R. Kertinegara adalah Pemberontak yang melawan kezaliman Amangkurat I, yang bekerjasama dengan R.Trunojoyo, Sutamenggala dan juga mas Rahmat Putra Amangkurat I, sehingga Pemerintahan Amangkurat I dapat digulingkan.kekhawatiran itu yang membuat was-was Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sedangkan Perang Jawa yang dilancarkan Pangeran Diponegoro membawa dampak Kebangkrutan pada VOC, negeri Belanda tersandung hutang dan menerapkan sistem Tanam Paksa untuk dapat mengisi kembali kas Negara.
Versi ketiga, Perang Jawa atau perang Diponegoro (1825-1830) sangat memberikan dampak kerugian dan traumatis bagi VOC, hal ini mempengaruhi pada kebijakan-kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang diambil oleh VOC. Dalam rangka memuluskan jalannya kepentingan VOC di jawa,mereka berusaha mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan Mataram, memecah Mataram menjadi Kasunanan dan Kasultanan yang sering disebut dengan “Pangalihan Nagari”, mengambil alih wilayah Negaraagung dan Mancanegara Mataram, mengganti pejabat-pejabat yang anti Kolonial, menata administratif Jawa. Sebagai contoh, Bupati banjar ketiga Dipoyono ditemukan meninggal bunuh diri tanpa sebab yang jelas, R.Tumenggung Prawiranegara dibuang ke banda, ada yang mengatakan karena dianggap gila dibuang ke Padang. Begitu juga dengan Mas Kramayuda, keterlibatannya dalam membantu Pangeran Diponegoro melalui R.T. Prawiranegara dan juga konflik kebijakan karena pada saat itu didaerah” Penguasaan banyak terjadi Dualisme kepemimpinan antara eks Pejabat Mataram dan juga Pejabat-pejabat baru bentukan kolonial. Pada saat itu sisa Kadipaten Pecahan Wirasaba yang masih berdiri adalah Kadipaten Banyumas di Banyumas. sedangkan diarah timur hanya tersisa Banjar(watu Lembu) yang berada disebelah Utara sungai serayu sedangkan kadipaten wirasaba sendiri dan kadipaten merden sudah turun status menjadi Desa biasa. Purwasaba bukanlah bagian dari Kadipaten Merden maupun Banyumas, ketidak jelasan pengaturan administratif dan batas wilayah Banjarnegara saat itu menyulitkan Pihak Kolonial didalam menentukan dan menerapkan kebijakannya. Salah satu ‘duri dalam daging’ adalah mas kramayuda,yang dikhawatirkan akan melakukan gerakan perlawanan membantu pejuang-pejuang bangsa pada saat itu. Apalagi kalo kita mau menilik sejarah bahwa kakek dari nyi mas kramayuda yaitu R. Kertinegara adalah Pemberontak yang melawan kezaliman Amangkurat I, yang bekerjasama dengan R.Trunojoyo, Sutamenggala dan juga mas Rahmat Putra Amangkurat I, sehingga Pemerintahan Amangkurat I dapat digulingkan.kekhawatiran itu yang membuat was-was Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sedangkan Perang Jawa yang dilancarkan Pangeran Diponegoro membawa dampak Kebangkrutan pada VOC, negeri Belanda tersandung hutang dan menerapkan sistem Tanam Paksa untuk dapat mengisi kembali kas Negara.
Propaganda dilancarkan VOC. Demang Kramayuda mati
dibunuh oleh pihak VOC di kalimundu, untuk menutupi kejadian tersebut segala
mitos disebarkan, penjatuhan citra pemimpin pada rakyatnya,sebagai pemimpin
yang rela mati hanya untuk dapat melihat kemaluan wanita se-Purwasaba.
Demang kramayuda dimakamkan dipemakaman Umum Kuncen,
didalam bangunan yang berada ditengah pemakaman, untuk menuju kesana melalui
beberapa undakan. Demang kramayuda adalah Pemimpin yang arif dan bijaksana,
yang memberikan contoh kepada kita bahwa berjuang bukan hanya dengan senjata, namun
dengan ilmu, kerjakeras, kesetiaan dan kasih sayang, mengayomi masyarakatnya
dengan cinta kasih untuk mencapai kemajuan bersama.
Asal nama Desa Purwasaba
1.
Teori yang pertama, Secara etimologi nama
“Purwasaba” berasal dari dua buah kata yaitu Purwa dan saba.
·
Purwa
((kamus bahasa indonesia))
1 ks mula-mula;permulaan;dahulu
; 2kb yang memisahkan cerita mahabharata dan ramayana(tentng wayang)
Saba((kamus populer bahasa indonesia)),bersaba v bergaul;berkunjung;menyaba v mendatangi;mengunjungi kerap
kali
·
Purwa-saba
= mula;mula;permulaan;dahulu-mendatangi;mengunjungi kerap kali
Sehingga dapat dimaknai dengan seringkalinya orang banyak
berkumpul diwilayah ini maka desa ini disebut dengan purwasaba. hal ini dapat
dilihat hingga saat ini, dimana orang banyak berkumpul dari berbagai daerah
untuk datang kepasar Purwasaba.
2.
Teori yang kedua, Purwasaba berasal dari kata
Purasaba, yang beralih bentuk dari pura-saba menjadi purwa-saba.
·
Pura : Kedaton,
·
Purwa-saba
= mula;mula;permulaan;dahulu-mendatangi;mengunjungi kerap kali
Sebuah pemerintahan yang baru,kebijakan yang
pertama dibuat adalah kebijakan ekonomi, dengan adanya pasar akan mengundang
khalayak ramai untuk datang. Perputaran uang akan menambah kas pemerintahan,
keamanan lebih ditingkatkan dan banyak orang ramai datang untuk menetap. Maka
semakin ramailah purwasaba saat itu. Bahkan para sepuh dari desa-desa sekitar
mengatakan, pada saat Purwasaba sedang hari pasaran suaranya bisa terdengar
sampai desa-desa tetangga seperti suara dengungan lebah.
Catatan :
-
Dulu pernah
berdiri Kadipaten Mandiraja yang ikut serta memasok bahan pangan kemiliteran di
Panjer,pada saat Sultan Agung menyerang Batavia
-
Untuk
penetapan daerah baru pasca Perang Diponegoro, Hamengkubuwono mengirimkan
“KOMMISSARISSEN TER REGELING DER VORSTEN LANDEN”. Sebuah laporan tertanggal
soekaradja 20 September 1830/dalam bundle arsip Banyoe Maas 1C ‘’Banjoemas
Verslag”1830 menyebutkan: daerah banyumas terdiri dari wilayah : Banyumas,Banjar,Sigaluh,Wonokerto,Mandiraja,Purbalingga,Kertanegara,Sokaraja,Purwokerto,Patikraja,Ayah,Jeruk
legi-perdikan,Pengrembes Perdikan,pengrembes-pancang,pengrembes-… : tak
terbaca, Donan-perdikan,Tanah Dayeuh Luhur.
-
Resolutie
22 Agustus 1831 No.1 antara lain wilayah kabupaten Banjarnegara terbagi dari 5
kawedanan dengan nama : Banjar,Singomerto,Wonoyoso,Batur dan Pagentan.
Perpindahan pusat kota Kabupaten dari Banjar(watu lembu)
disebelah utara sungai serayu ke sebelah selatan sungai serayu menjadikan Kota Banjar
menjadi Kabupaten Banjarnegara yang dipimpin oleh Dipayuda IV,berdasarkan
Besluit 22 Agustus 1831. Perencanaan dan pengorganisasian didalam pengelolaan
wilayah baru ini semakin membawa kemakmuran bagi masyarakat Banjarnegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar