Minggu, 11 Desember 2016

MBAH JAMAR AL MATARAM



Sebuah kisah tentang seorang lelaki tua yang konon memiliki kemampuan linuwih,sakti mandraguna,beliau dikenal dengan nama Mbah Jamar. Konon mbah jamar ini adalah pelarian dari mataram yang akhirnya hidup menetap didesa Kebanaran,Mandiraja-Banjarnegara.
Kami sempat bertandang ketempat 2 sesepuh desa kebanaran yang notabenya masih terhitung cucu dari mbah jamar itu sendiri, yang pertama adalah mbah sultoni,mantan pegawai penerangan.  kakek yang sudah memiliki banyak cucu ini bercerita bahwa mbah jamar ini adalah seorang prajurit mataram yang ‘kelen’ dan menetap didesa kebanaran. Untuk alur silsilah keatas tidak diketahui secara pasti, dikarenakan serat kekancing dan piandel tanda mataram beliau bakar untuk dimusnahkan. Dikhawatirkan anak keturunannya akan berlaku sombong dan dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan keluarga. Hal itu dapat dipahami, peperangan elit politik mataram pada saat itu dan juga perang antara mataram – VOC memakan begitu banyak korban, sehingga banyak keluarga keraton Mataram maupun prajurit yang memilih bersembunyi dan bertempur secara gerilya diwilayah-wilayah yang dianggap aman karena dilindungi oleh keluarga penguassa pada wilayah tersebut. Ada beberapa keunikan Mbah Jamar yang memang dianggap nyeleneh, Apabila beliau mandi tidak menggunakan Air, namun menggunakan Api, ada seorang cantrik yang selalu setia mengabdi kepada Beliau. Sesekali setiap kali beliau dimandikan, Ia selalu berpesan kepada Cantriknya “sing sabar le, aja bosen-bosen le ngedusi aku. Ngemben nek aku mati, asline aku namung turu, nek butuh apa-apa kuburku di godek-godek (dibangunkan) li aku tangi” . Mbah sulthoni memberikan petunjuk apabila mau berziarah saya dapat menemui bapak Sarengat Kunci Makam Babakan Kebanaran, karena Beliau adalah orang yang sering kali membersihkan dan merawat makam tersebut.
Sesepuh Desa kebanaran yang kedua adalah seorang Perempuan Tua yang hidup di Sebuah Gubuk kecil dengan lantai tanah berdinding bambu, Beliau bernama Nyi Sa’diyah / mbah Dyah yang sudah berusia sangat tua diatas 90tahun namun dengan lekuk Tubuh dan perawakan segar dan tegap. Ada hal unik yang saya tangkap dari beliau, pada saat saya mengetuk pintu sembari uluk salam beliau langsung menjawab dan menyambut saya dengan hangat.
“niki Kulo Mbah….”
“iyaa…aku li apal sriramu….”
“hahaha…..sinten kulo mbah?” setengah merasa geli dantidak percaya dengan pernyataan  simbah ini
“Sriramu kan putrane mas Is…..”
“h h h h…..” dezigh! seperti mendapatkan pukulan Palu godam dengan telak mendengar jawaban nenek ini….. diusianya yang sudah amat tua namun dengan pendengaran dan penglihatan yang masih tajam, apalagi mengingat kami terakhir bertemu sudah sekitar 15 tahun yang lalu…. Ucapannya yang halus langsung nunjleb dihati penuh dengan tanda Tanya.
“aku..tak shalat dhuhur ndisit, sriramu pinarak riin…”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Dari mbah dyah saya mendapatkan banyak cerita dan juga sejarah babad tentang negeri ini, walau tinggal digubuk kecil dan hidup seadanya, siapa yang mengira dia adalah orang yang terpelajar dizamannya, seorang perempuan bersekolah pada saat itu bukanlah hal yang lazim, karena faktor ketidak mampuan biaya dan pola pikir yang masih kuno. Namun pada saat itu mbah dyah sudah dapat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Beliau juga aktif sebagai aktifis Muhammadiyah. Walau banyak pula yang mengatakan bahwa mbah dyah ini sedikit tidak waras namun banyak pertanyaan yang beliau jawab dengan memuaskan, yang bahkan oleh guru-guru sejarah pun tidak dapat mereka jawab. Namun jawaban beliau amat sesuai dengan literature-literatur kitab-kitab kuno, babad kebumenan serta banyak bahan pustaka yang saya baca.
banyaknya cerita yang tiada henti terus membuat saya terpana, pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dijawab dengan memuaskan;  seperti tempat-tempat kuno yang tidak banyak orang yang tahu, peninggalan-peninggalan bersejarah yang terbengkalai disitu juga diceritakan tentang mbah Jamar. Beliau bercererita persis seperti yang disampaikan oleh mbah Sulthoni,tentang mbah jamar.
Mbah Jamar selain biasa mandi menggunakan Api yang membuat tubuhnya berkilau, beliau jg memiliki kebiasaan apabila merasa dingin,beliau akan membakar ‘klari’ lalu ia gosok-gosakan api ketubuhnya. “ nek mboten ngaten mboten roso”. Kalo merasa gatal beliau akan meminta diasahkan ‘gobed’  yang tajam untuk menggaruk tubuhnya , “ nek mboten ngaten mboten roso”.
Mbah Jamar memiliki seorang Putra yang bernama Asnawi atau disebut juga Lurah Su’aib.

Kamis, 17 November 2016

HISTORY BAGELEN

BAGELEN PASCA PERANG JAWA (1830-1950):
Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah
“Negaragung” Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden)
Oleh:
Himayatul Ittihadiyah
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281
Abstract
This paper aims at describing one of the Javanese Islamwhich is sociopolitically and economically may be cited as the most dynamic regions during
the period of one century. Bagelen, the former territory "negaragung” has been
amended several times of a changing system of administration and two times a
change of economic policy. First, (1830-1870), this period is called as cultivation
system (cultuurstelsel). After the signing of the political contract 27 September
1830,  as  a  result  of  the  defeat  of  the  Java  War,  there  was  the  so-called
'transitional villages', the release of the coastal areas of the power of Mataram,
including  "mancanegara"  Bagelen  which  was  originally  a  granary  for  the
Sultanate  of  Mataram  both  Surakarta  and  Yogyakarta  later  annexed  by  the
colonial  government.  Administratively,  the  period  saw a  shift  from  the
"mancanegara", a local residency under the authority of the Dutch East Indies
colonial  government,  based  in  Batavia.  The  period  saw  a  change  in  zoning
throughout the residency and the addition of new officers to guide and oversee
the  workings  of  the  indigenous  population  in  the  implementation  of  forced
cultivation. This happens partly because of rapid population growth. Because
the population is a potential resource then it can be harnessed to the interests of
forced  cultivation.  Second,  (1870-1950),  in  this  period  re-entering  society
Bagelen latest round, the period of liberal economic system, in this period they
have to face the liberal patterns in various aspects oflife, ranging from how to
make a  living, facing  the  industrialization of  the  owners  of  both  private  and
government  capital.  At  this  period  also  administratively  Bagelen  be  merged
into  the residency of Kedu (August  1,  1901).  At  the  same  time,  as  an  Islamic
society  they  also  have  to  deal  with  an  influx  of  new  religions,  namely
Christianity,  a  religion  which  at  that  time  known  as  the religion  of  the
colonizers.
Keywords:Bagelen, region, Mataram.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 224
Abstrak
Tulisan  ini  mendeskripsikan  salah  satu  kawasan  Jawa  Islam  yang
secara  sosial  politik  dan  ekonomi  dapat  disebut  sebagai  kawasan  paling
dinamis  selama  sekitar  satu  abad.  Bagelen,  bekas  wilayah  "negaragung"  ini
telah  mengalami  beberapa  kali  pergantian  sistem  administrasi  dan  dua  kali
pergantian  kebijakan  ekonomi.  Pertama,  (1830-1870),  periode ini  disebut
periode  sistem  tanam  paksa  (cultuurestelsel).  Setelah  ditandatanganinya
kontrak politik 27 September 1830, sebagai akibat dari kekalahan Perang Jawa,
terjadilah  apa  yang  disebut  sebagai  "peralihan  nagari",  terlepasnya  daerahdaerah  pesisir  dari  kekuasaan  Mataram,  termasuk  di  dalamnya
“mancanegara”.  Bagelen  yang  semula  merupakan  lumbung  padi  bagi
Kesultanan Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta kemudian dianeksasi
oleh  pemerintah  kolonial.  Secara  administratif  pada  periode ini  terjadi
peralihan  dari  daerah  “mancanegara”, menjadi  daerah  karesidenan di  bawah
kekuasaan  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda  yang  berpusat  di  Batavia.
Dalam  periode  ini  terjadi  perubahan  pembagian  wilayah  di  seluruh
karesidenan  dan  penambahan  pejabat  baru  untuk  membimbing  dan
mengawasi cara kerja penduduk pribumi dalam pelaksanaan tanam paksa. Hal
ini  terjadi  antara  lain  karena  pertambahan  penduduk  yang  cepat.  Karena
penduduk merupakan sumber daya yang potensial maka dapat dimanfaatkan
untuk  kepentingan-kepentingan  tanam  paksa.  Kedua,  (1870-1950),  pada
periode  ini  masyarakat  Bagelen  kembali  memasuki  babak  terbaru,  yakni
periode  sistem  ekonomi  liberal,  pada  periode  ini  mereka  harus  menghadapi
pola-pola  liberal  dalam  berbagai  aspek  kehidupan,  mulai  dari  cara
memperoleh mata pencaharian, menghadapi  industrialisasi  daripara  pemilik
modal  baik  swasta  maupun  pemerintah.  Pada  periode  ini  pula secara
administratif Bagelen harus bergabung ke dalam Karesidenan Kedu (1 Agustus
1901).  Pada  masa  yang  sama,  sebagai  masyarakat  Islam  mereka  juga  harus
menghadapi  arus  masuknya  agama  baru,  yakni  agama  Kristen,  agama  yang
pada waktu itu dikenal sebagai agama para penjajah.
Kata kunci:Bagelen, wilayah, Mataram.
A. PENDAHULUAN
Untuk memahami dinamika sejarah masyarakat Islam di Jawa,
Bagelen  adalah  bagian  dari  kawasan  yang  teramat  penting  untuk
dilewatkan,  demikian  juga  waktu  sejarah  yang  tidak  bisa  diabaikan
adalah masa setelah berakhirnya Perang Jawa atau yang sering disebut
Perang Diponegoro. Perang Jawa atau perang Diponegoro (1825-1830)
merupakan  salah  satu  peristiwa  penting  dalam  sejarah  politik
Kesultanan Mataram, yakni perang antar elite Jawa dan elite Kolonial
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 225
yang  didukung  oleh  pasukan  pengikut  Pangeran  Diponegoro  yang
memberontak  akibat  tekanan-tekanan  politik  dan  ekonomi  yang
dilakukan  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda.  Perang  yang
bernuansa  mistis  Jawa  Islam dengan  konsep  ratuadilisme  ini  menjadi
trauma politik yang berdampak terhadap pertimbangan-pertimbangan
politik  atas  kebijakan  yang  dikeluarkan  oleh  pemerintah  kolonial
Hindia  Belanda  selanjutnya,  baik  menyangkut  kebijakan  ekonomi,
politik, maupun keagamaan di kawasan pulau Jawa.
Bagelen,  adalah  potret  dari  wilayah  dinamis  yang  selalu
menjadi  rebutan  para  elite  politik  --yang  dalam  hal  ini  banyak
mengalami perubahan status secara administrasi politik-- sejak zaman
pra-kolonial  hingga  zaman  kolonialisme  liberal.  Dalam  tulisan ini
Bagelen  akan  dikaji  dalam  rentang  waktu setelah  berakhirnya  Perang
Jawa, yang secara kebijakan politik dan ekonomi dapat disebut sebagai
masa-masa  yang  banyak  mengalami  perubahan.  Dengan  berlalunya
Perang  Jawa  atau  perang  Diponegoro,  masyarakat  Islam  di  Bagelen
yang  nota  bene secara  mayoritas  adalah  masyarakat  petani,  mulai
memasuki  babak  baru  dalam  sejarah  kolonial  di  Jawa,   yakni  zaman
culturstelselatau tanam paksa (1830-1870). Memasuki masa ini mereka
harus  menghadapi  berbagai  perubahan  secara  struktural  maupun
kultural, baik secara social, politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Secara  kehidupan  sosial  ekonomi  jelas  mereka  harus  beradaptasi
dengan sistem baru, yakni sistem culturstelsel.Sistem ini telah memaksa
mereka  untuk  mengubah  pola  kehidupan  sehari-hari.  Pada  masa  ini
wilayah  Bagelen  berubah  status  dari  kawasan  monconegoro  dari
Kasultanan  Mataram  di  Yogyakarta  dan  Kasunanan  di  Surakarta
menjadi  Karesidenan  Bagelen,  menjadi  Karesidenan  baru  di  bawah
kekuasaan  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda,  dan  dijadikannya
sebagai lahan perkebunan nila (indigo) terbesar di pulau Jawa. Dengan
kebijakan tersebut maka masyarakat petani pemilik lahan persawahan
di  Bagelen  tidak  memiliki  kebebasan  untuk  mengolah  lahan  tanah
mereka sesuai dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jika sejak
zaman  prakolonial  Bagelen  sudah  dikenal  sebagai  wilayah  lumbung
padi  bagi  Kasultanan  Mataram  (Vorstenlanden), maka  berbeda  ketika
Bagelen  memasuki  masa  kebijakan  cultruurstelsel, mereka  tidak
diperkenankan  lagi  untuk  menanam  tanaman  padi  sebagaimana
sebelumnya,  karena  sebagian  besar  lahan  persawahan  yang  mereka
miliki harus dijadikan lahan perkebunan nila (indigo).
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 226
 Kebijakan  sistem  culturstelsel yang  dikeluarkan  pemerintah
kolonial  Hindia  Belanda  tersebut  pada  kemudian  hari  membawa
berbagai  dampak  yang  signifikan  terhadap  pola  kehidupan  mereka
sehari-hari karena berubahnya pola kerja masyarakat. Pola pengolahan
lahan  perkebunan  sangat  berbeda  dengan  pengolahan  lahan
persawahan.  Alhasil  pola  semacam  ini  sangat  merugikan  masyarakat
petani  karena  mereka  harus  beradaptasi  kepada  sistem  baru  yang
sangat berbeda dengan sistem sebelumnya.
 Setelah  kegagalan  sistem culturstelsel,  yang  kemudian  disusul
dengan  babak  berikutnya  yakni  sistem  ekonomi  liberal  (1870-1950)
masyarakat  kembali  memasuki  babak  baru  atau  babak  terbaru dalam
sejarah  Bagelen,  yakni  suatu  masa  ketika  mereka  harus  menghadapi
pola-pola  liberal  dalam  berbagai  aspek  kehidupan,  mulai  dari  cara
memperoleh  mata  pencaharian,  menghadapi  industrialisasi  dari  para
pemilik  modal  baik  swasta  maupun  pemerintah,  termasuk  ketika
mereka  harus  menghadapi  arus  masuknya  agama  baru,  yakni  agama
Kristen,  agama  yang  pada  waktu  itu  dikenal  sebagai  agama  yang
dibawa  dan  dianut  oleh  para  penjajah,  yakni  bangsawan  pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
Dengan  berlakunya  sistem  liberal  perubahan  di  berbagai
bidang  pun  mulai  tampak  bermunculan.  Orang-orang  Belanda  mulai
semakin  memperluas  wilayah  kekuasaan,  dan  di  wilyah  itu  pula
mereka  mulai  semakin  menyelenggarakan  pemerintahan  secara
langsung.  Kehidupan  orang-orang  pribumi  pun  semakin  dipengaruhi
oleh  ekonomi,  teknik,  dan  ilmu  pengetahuan  Barat. Walaupun  di  sisi
lain  kesadaran  sebagai  orang-orang  Indonesia  pun  mulai  tumbuh,
meningkat seiring dengan digulirkannya sistem ekonomi liberal.
 Kebijakan  pemerintah  kolonial  yang  selalu  berganti-ganti
sebelumnya,  baik  mengenai  wilayah  dan  juga  peraturan  penggunaan
tanah  yang  terlalu  sering  terjadi  secara  bergantian  sangat
mempengaruhi  tata  kehidupan  dan  perilaku  serta  kebudayaan
masyarakat  di  seluruh  pelosok  Jawa,  terutama  sekali  di  wilayahwilayah  yang  dijadikan  perkebunan  pada  masa  diberlakukannya
sistem tanam paksa,
Di daerah Bagelen ini masyarakat Islam sudah mulai tumbuh
sejak  zaman  Kasultanan  Mataram  Islam  ketika  dipimpin  oleh  Sultan
Agung,  namun  semenjak  hilangnya  kekuasaan  Kasultanan  Mataram
Islam  atas  wilayah  tersebut,  disusul  dengan  berganti  gantinya
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 227
kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari sistem cultuurstelsel
hingga  sistem  ekonomi  liberal,  mereka  mulai  dihadapkan  kepada
perubahan-perubahan  yang  bersifat  struktural  atau  fundamental,
mulai  dari  perubahan  sosial  politik,  ekonomi,  dan  kebudayaan,
termasuk  perubahan  yang  sangat  fundamental  adalah  secara
keagamaan,  yakni  ketika  mereka  harus  mulai  menghadapi  berbagai
arus kristenisasi, baik melalui lembaga pemerintah maupunswasta.
B. SEKILAS TENTANG WILAYAH GEOGRAFIS BAGELEN
Dalam  catatan  arsip-arsip  Pemerintah  Kolonial  Hindia
Belanda, Bagelen sering disebut dengan nama Bagelon, Bagalein, atau
juga Baglen. Ketiga sebutan ini menunjukkan tempat yang sama, yakni
Bagelen  yang  secara  geografis  terletak  di  pantai  bagian  selatan Jawa
Tengah. Antara 109° 12´ dan 110° 11´ garis Bujur Timur dan antara 7°
dan  7°  57´  garis  Lintang  Selatan.  Ia  dikelilingi  oleh  Karesidenan
Pekalongan dan Semarang di perbatasan bagian utara, di sebelahtimur
berbatasan dengan Karesidenan Kedu dan Kesultanan Yogyakarta, dan
karesidenan  Banyumas  di  sebelah  Barat,  di  sebelah  selatan  dibatasi
oleh Lautan Hindia (Samodera Indonesia), serta Tegal di sebelah Barat
lautnya.
1
 Luas  seluruh  Karesidenan  Bagelen  diperkirakan  mencapai
2544  palen  2  atau  kira-kira  3831  km².
2
 Sedang  penduduknya  pada
tahun 1930 diperkirakan berjumlah 39.794 cacah atau kira-kira 238.764
jiwa. Jika satu cacah sama dengan enam jiwa.
3
Bagelen diapit oleh tiga
deretan  pegunungan;  pegunungan  Kendeng,  pegunungan  Kelir,  dan
pegunungan  Karangbolong.  Deretan  pegunungan  Kendeng
memanjang  dari  timur  ke  barat,  pada  perbatasan  utara  keresidenan
Bagelen  memiliki  dua  deretan  cabang  menuju  ke  selatan.  Kedua
cabang  ini  adalah  pegunungan  Kelir  pada  batas  timur  Bagelen dan
Yogyakarta,  dan  pegunungan  Karangbolong  pada  batas  dengan
Karesidenan Banyumas. Dataran  rendah Bagelen  yang  sebagian  besar  
1
 P.J.  Veth,  Aardrijkskundig  en  Statistische  Wordenboek  van  Nederlandsch-Indie.
(Amsterdam:  P.N.  van  Kampen,  1961).  Eerste   dell,  A-J,  hlm.  48-49.  LIhat  Juga  ANRI,
Bagelen  no  5/10  1930,  Verslag  der  Handelingen  van  de  Komissaris  voor  der  overgenomen
voorstenlanden Lawick Pabs, 1831.
2
Satu Paal= 15,6.943 m, lihat ENI, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Tweede
druk.  J.Paulus  (ed.).  S  Gravenhage  dan  Leiden;  Martinus  Nijhoff  dan  N.V./HE.  J.  Brill.
Paal, hlm. 226.
3
TNI,  1858  “De  Toestand  van  Bagelen in  1830”  Tijdschrift   voor  NederlandschIndie, 20st Jaargang II, hlm. 65-84.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 228
teridiri  dari  daerah  rawa-rawa,  seperti  Wawar  dan  Tambak  Baya
terletak  di  antara  pegunungan  Karangbolong  dan  pegunungan  Kelir.
Rawa Wawar yang sering disebut sebagai Groote Rawa atau rawa besar
yang  panjangnya  sekitar  11  palen  dan  lebarnya  2-4  palen,  teletak di
sebelah timur, sedang Rawa Tambak Baya terletak di sebelah barat dan
ukurannya lebih kecil dari Rawa Wawar kira-kira 4x4 palen. Di dataran
rendah  ini  tersebar  daerah-daerah  dengan  desa-desa  kecil  yang
menggantungkan  diri  pada  tanah  pertanian  di rawa-rawa  jika musim
kering.  Sedang  di  sisi  selatan  daerah  rendah  Bagelen   terdapat  suatu
deretan  desa  panjang  tidak  terputus-putus  kira-kira  4x40  palen
menyusuri pantai. Deretan desa ini dimulai dari desa Kadilangu di tepi
kali  Bagawanta  ke  Barat  sampai  tepi  kali  Cincing  Guling,  di  daerah
perbukitan  Karangbolong.  Deretan  desa  yang  panjang  ini  disebut
daerah  Urut  Sewu  (Oeroet  Sewu) sebagai  tanggul  pemisah  antara
daerah rawa dengan lautan.
4
Dalam  cerita  Babad  Tanah  Jawi,  Bagelen  diceritakan  sebagai
wilayah  kekuasaan  raja  dengan  pertanian  yang  sangat  maju,
disebutkan bahwa Bagelen adalah bagian dari “Negeri Purwo Carito”
atau  “Negeri  Tanah  Jawa”,  yang  diperintah  oleh  seorang  raja  yang
terkenal sebagai “Raja Petani”,
5
raja kedua dari kerajaan Purwo Carito.
Bagelen,  yang  dalam  klasifikasi  ekologi  menurut  Clifford  Geertz
merupakan wilayah Kejawen,
6
adalah wilayah pertanian dengan areal
tanah  yang  tersubur  dan  terkaya  di  Jawa.  Wilayah  ini  mempunyai
sejarah  yang  cukup  unik  dan  menarik.  Perubahan-perubahan  yang
cukup  signifikan  menjadikannya  suatu  wilayah  yang  selalu  menarik
untuk  dicermati.  Intensifnya  penetrasi  kekuasaan  kolonial tampak
sekali  dalam  kebijakan-kebijakan  yang  dikeluarkannya  berkaitan
dengan  perubahan  struktur  pembagian  wilayah  maupun  kebijakan
ekonominya  yang  berhubungan  dengan  perkembangan  usaha
perkebunan hingga dibukanya bank-bank (Javasche Bank), perusahaan-4
 TNI,  Ibid.,  hlm.68.  Lihat  juga  Laksono,  Tradition  in  Javanese  Social  Structure
Kingdom and Countryside, (Yogyakarta: Gama Press, 1990), hlm. 59.
5
Babat  Tanah  Jawi,  Poeniko  Serat  Babat  Tanah  Jawi  Wiwit  Saking  Nabi  Adam
Doemoegi ing Tahun 1657. (‘S-Gravenhage: M, Nijhoff, 1941), hlm. 11-12. A.J. van der Aa,
Nederlandsch  Oost-Indie-Beschrijving  Der  Nederlnadsche-Bezittingen  in  Oost-Indie.
(Amsterdam: J.F. Schleijer 1851), Derde Deel, hlm. 450.
6
 Geertz,  Clifford,  Involusi  Pertanian:  Proses  Perubahan  Ekologi  di  Indonesia
(Jakarta: Bhratara, 1983), hlm. 102.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 229
perusahaan  (Maschapij) perkebunan  yang  dikelola  oleh  pihak  swasta
Asing.
Pada  masa  pemerintahan  VOC,  wilayah  tersebut  merupakan
wilayah  yang  selalu  menjadi  rebutan  para  penguasa  untuk
kepentingan-kepentingan  ekonomis,  baik  antar  penguasa  tradisional
Yogyakarta  VS  Surakarta,  maupun  dengan  penguasa  kolonial,
semuanya mempunyai kepentingan yang sama sehingga dalam hal ini
Bagelen  selalu  menjadi  pusat  perhatian  dan  tarik  menarik  antara
penguasa-penguasa  tersebut,  hingga  munculnya  berbagai  kebijakan
tentang  tanah  yang  intinya  mengatur  mengenai  penggunaan  tanahtanah  di  pedesaan.  Semenjak  masih  menjadi  bagian  dari  wilayah
Kesultanan Mataram  di Yogyakarta  (Vorstenlanden) hingga  beralihnya
kekuasaan  kepada  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda,  sebagai
wilayah  karesidenan  di  bawah  pemerintahan  Batavia,  perubahan  di
Bagelan  memang  merupakan  potret  dari  kasus  yang  sedemikian
menariknya.
Jauh  sebelum  berdiri  sendiri  menjadi  wilayah  karesidenan di
bawah  pemerintahan  Kolonial  Hindia  Belanda  yang  berpusat  di
Batavia,  dan  juga  sebelum  terpecahnya  Mataram  menjadi  dua;
Kasultanan  di  Yogyakarta  dan  Kasunanan  di  Surakarta,  Bagelen
merupakan  bagian  dari  wilayah  negara  agung  (negaragung) dari
kekuasaan  Kasultanan  Mataram  (Vorstenlanden), yang  berpusat  di
Yogyakarta,  namun  semenjak  ditandatanganinya  Perjanjian  Giyanti
pada tanggal 13 Februari 1755 antara Nicolas Harting atas nama VOC
Belanda  di  satu  pihak  dengan  Pangeran  Mangkubumi  (Sultan
Hamengku  Buwono  I)  di  lain  pihak,
7
 Mataram  terbagai  dalam  dua
kekuasaan:  Kasultanan  di  Yogyakarta,  dan  Kasunanan  di  Surakarta,
sehingga  secara  geo-politik  struktur  pembagian  daerah  kekuasaan
pada saat itupun cukup rumit, ada beberapa wilayah distrik di Bagelen
yang  berada  di  bawah  kekuasan  Kasultanan  Yogyakarta,  dan  ada
sebagian wilayah distrik di Bagelen yang menjadi bagian dari  wilayah
Kasunanan  Surakarta,  desa  per  desa  tergantung  apakah  pemegang
lungguh  desa  yang  bersangkutan  termasuk  pejabat  Surakarta atau
7
 Arsip  Djogja,  Original  Contract  tuschen  het  Gouverneur  Nicolas  Harting  van
Wegen  de  Generale  Nederlandsche  oost-Indiesche  Compagnie  en  den  Sultan  Hamengcuboeana
(Hamengku Buwono) (Campemen tot Gantie: 13 Februari1755), hlm. 4.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 230
Yogyakarta.
8
 Semenjak  peristiwa  Giyanti  itulah  Bagelen  berubah
menjadi  wilayah  monconegoro dari  kedua  kekuasaan  tersebut,  yakni
Kasunanan  Surakarta  dan  Kasultanan  Yogyakarta.  Adapun  alokasi
distrik  di  Bagelen  dalam  kekuasaan  Mataram  antata  Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah sebagai berikut:
9
 MAHOSAN  DALEM
LUNGGUH  KERJA
GLADAK
KASUNANAN
SURAKARTA
1.  Tanggung
(Cangkrep)
2.  Wala
(Ambal,
Kutoarjo)
3.  Panjer
(Kebumen)
4.  Talaga
1.  Merden
(Kebumen)
2.  Kutowinangun
1.  Gesikan
(Kutoarjo)
KASULTANAN
YOGYAKARTA
1.  Bapangan
(Jenar,
Purworejo)
2.  Semawung
(Kutoarjo)
3.  Ngrawa
4.  Watulembu
5.  Lengis
(Kutoarjo)
6.  Selomanik
(Wonosobo)
7.  Semaiju
(Wonosobo)
1.  Loano
(Purworejo)
2.  Blimbing
(Karanganyar)
3.  Remo/Roma
Jatinegoro
(Karanganyar)
Selomerto
8
CL.  Van Doorn,  Schets  van de  Ecomische  Ontwikkeling der  Afdeeling  Poerworejo
(Residentie Kedoe)  Weltervreden: G. Kolffs Co. 1926, hlm.19. Lihat Laksono,  Op. Cit.hlm.
72.
9
 Doorn.  C.L. Schets  van  De  Economische  Ontwikkeling  der  Afdeeling  Poerworejo
(Residentie  Kedoe) Weltervreden,  G.Kolffs  Co.,  1926:  17,  dikutip  dari  PM.  Laksono,
Tradition  in  Javanese  Social  Sturcture  Kingdom  and  Countryside, Yogyakarta:  Gadjahmada
University Press, 1990.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 231
Setelah  ditandatanganinya  kontrak  politik  27  September
1830,
10
sebagai akibat dari kekalahan Perang Jawa, terjadilah apa yang
disebut  sebagai  "peralihan  nagari",  terlepasnya  daerah-daerah  pesisir
dari  kekuasaan  Mataram,  dan  juga  termasuk  di  dalamnya
“mancanegara” Bagelen  yang  semula  merupakan  lumbung  padi  bagi
Kasultanan  Mataram  baik  Surakarta  maupun  Yogyakarta  yang
kemudian dianeksasi oleh pemerintah kolonial. Sejak saat itu mulailah
pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjalankan sistem yang baru di
daerah-daerah  yang  sebelumnya  belum  pernah  dikuasai  penuh  oleh
pemerintah Hindia Belanda, seperti daerah Bagelen.
Dearah Bagelen yang semula merupakan daerah  mancanegara
dari  Kasultanan  Yogyakarta  dan  Kasunanan  Surakarta,  kemudian
dijadikan Daerah Karesidenan. Di sinilah pemerintah KolonialHindia
Belanda  menempatkan  seorang  residen  dan  pembantu-pembantunya
untuk  memegang  pemerintahan.  Sejak  saat  itu  Bagelen   menjadi
wilayah  Karesidenan  sampai  tanggal  1  Agustus  1901,  karena  mulai
tanggal  tersebut  daerah  karesidenan   Bagelen  digabungkan  dengan
daerah karesidenan Kedu.
11
Sejak 27 September 1830 itulah dimulainya
satu periode atau babak baru yang dikenal dengan nama sistem tanampaksa  (Cultuurstelsel). Pada  waktu  itu  terjadi  kerjasama  antara
penguasa  pribumi  dan  pemerintah  kolonial,  akan  tetapi  pemerintah
kolonial  belum  berusaha  semaksimal  mungkin  memanfaatkan  sistem
untuk  memperoleh  keuntungan  finansial.
12
 Dalam  perjanjian  3
November  1830  pemerintah  Kolonial  masih  berjanji  akan  memberi
uang kompensasi sebagai ganti rugi hilangnya penghasilan Sultan.
13
Ketika berlangsungnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro
(1825-1830),  Bagelen  yang  merupakan  wilayah  persengketaan  antar
elite  Jawa  dan  elite  Kolonial,  juga  merupakan  tempat  atau  ajang
penyusunan kekuatan pasukan pengikut Diponegoro. Oleh karena itu
trauma perang Diponegoro selalu membayangi Pemerintah Kolonial di
wilayah ini.  
10GP. Rouffer, “Voorstenlanden”Adatrechtbundels XXXIX, seri D, no. 18.  hlm.
19.
11
 B.  Paulus,  Encyclopaedia  van  Nederlands-Indie.  (‘S  Gravenhage:  Martinus
Nijhoff-Leiden: N. V v/h. E. J. Brill, 1917), Eerste Deel A –C, hlm. 103.
12
JH. Houben Vincent, “Economic Policy In the Principalities of Central Java in
Nineteenth  Century  “,  in  Angus  Maddison  dan  De  Prince  (ed.)  The  Growth  in  indonesia
1820-1940, (Dordrecht, Foris Publication, 1989), hlm. 168-187.
13
Ibid,  Kraton  &  Kumpeni,  Surakarta  and  Yogyakarta  1830-1870, (KITLV  Press,
1994), hlm. 61-63.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 232
Dengan ditandatanganinya perjanjian 22 Juni tahun 1830 yang
kemudian disusul dengan perjanjian 3 November 1830, Bagelenresmi
menjadi  wilayah  Residensi  Belanda,  hanya  beberapa  bulan  setelah
selesainya Perang Jawa. Wilayah Residensi Bagelen pada saat itu terdiri
atas  Afdeeling  Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo, sedangkan ketika
menjadi  bagian  dari  wilayah  Kasultanan  Mataram  hanya  meliputi
Purworejo dan Kebumen. Wonosobo yang dulu terdiri dariLedok dan
Gowong,  merupakan  bagian  wilayah  yang  terpisah  dari  Bagelen.
14
Setelah  berlalunya  Perang  Jawa  dan  dikuasainya  Bagelen  oleh
pemerintah Kolonial Hindia Belanda, mulailah dirintis hubungan yang
lebih luas dengan daerah-daerah luar.
Hubungan yang mula-mula terjadi antara karesidenan Bagelen
dan sekitarnya adalah karena kepentingan ekonomi, namun kemudian
hubungan  tersebut  semakin  meluas  ke  arah  kepentingan-kepentingan
sosial  politik,  perdagangan,  dan  juga  keagamaan  yang  terus
berlangsung  dan  kemudian  menimbulkan  berbagai  macam
kepentingan  baru  yang  sebelumnya  belum  pernah  terjadi.
Perkembangan  yang  terjadi  di  antaranya  dalam  bidang  pembagian
wilayah dan perkembangan wilayah dari pedesaan menjadi perkotaan
antara tahun 1840-1845.
Wilayah  Bagelen  ini  pada  masa  tanam  paksa  merupakan
daerah  pusat  perkebunan  nila  (indigo).
15
 Meskipun  pada  masa  itu
merupakan penghasil nila (indigo) terbanyak di Jawa, namundi akhir
masa tanam paksa perkebunan nila tersebut telah dihapus.
C. STRUKTUR MASYARAKAT BAGELEN
Berbicara tentang struktur masyarakat Bagelen tentu tidak bisa
dilepaskan dari berbicara tentang masyarakat Jawa dan struktur sosial
pada  umumnya  yang  sudah  banyak  dibahas  oleh  para  peneliti,  baik
dari dalam maupun dari luar negeri. Di antara mereka adalah Burger,
16
Wertheim,17
 Koentjaraningrat,
18
 dan  juga  Van  den  Berg  yang  
14
P.M. Laksono, Op.Cit.(1990), hlm. 59.
15
Didien  Ngadinem,  “Perkembangan  Daerah  Karesidenan  Bagelen  pada
Pertengah Abad  XIX: sebuah  Studi Sejarah  Ekonomi”,  (Skripsi  Jurusan Sejarah  Fakultas
Sastra UGM, 1993), hlm. 108-112.
16
D.H.  Burger,  “Structruurveranderingen  in  de  Javaansche  Samenleving”,
Indonesie,III (1949-1950), hlm. 101-123.
17
Wertheim, W.F.. Indonesian Society in Transition, terj. (Te Hague: 1959).
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 233
membicarakan  sistem  pangkat  pada masyarakat tradisional  di  Jawa,
19
Dari  hasil  penelitian  mereka  dapat  diperoleh  pemahaman  tentang
stratifikasi  sosial  secara  deskriptif,  sistem  pangkat  dalam  masyarakat
tradisional  Jawa,  dan  juga  tulisan  Geertz  yang  pernah  membahas
tentang perkembangan elite bangsa Jawa.
20
Berbicara  tentang  masyarakat  Jawa  tradisional  pada  masa
kolonial  akan  selalu dihadapkan  pada  persoalan-persoalan  stratifikasi
sosial  (lapisan  masyarakat  semacam  kasta),  diskriminasi  ras,
pembedaan  status  dan  prestise.  Selanjutnya  akan  dihadapkan  pula
pada persoalan-persoalan perubahan, mobilitas sosial dan lain-lainnya,
sebagai  akibat  dari  perubahan  kebijakan,  kesadaran  politik,  maupun
pengaruh  arus  modernisasi,  yang  masih  canggung  atau  kaku,
sebagaimana  terbentuknya  birokrasi  modern.  Berkembangnya
birokrasi  modern  pada  umumnya  mengubah  tatanan  birokrasi
tradisional  kerajaan,  yang  pada  gilirannya  nanti  juga akan  mengubah
atau menggeser hierarki sosial masyarakat sebelumnya.
Mengenai  masyarakat  Bagelen,  tampaknya  harus  dilihat  halhal yang bersifat umum sebagaimana masyarakat Jawa lainnya, namun
dan  juga  hal-hal  yang  bersifat  khusus  secara  lokal.  Hal  umum  yang
terpenting dan layak digarisbawahi adalah, bahwa sistem sewa tanah
ataupun  tanam  paksa  seperti  juga  yang  berlaku  di  masyarakat  Jawa
lainnya yang dalam hal ini telah melahirkan pelestarian bentuk-bentuk
kerja  sama  dalam  sistem  patrone-client yang  memang  merupakan
bentuk warisan dari sistem lama, yakni sistem perbudakan yang sudah
ada  sejak  zaman  klasik,  meskipun  dalam  hal  ini  perbudakan  di
Indonesia  harus  dibedakan  dari  kasus  perbudakan  di  Afrika  yang
memang sudah ada sebelum zaman pencerahan.
21
18
R.M.  Koentjaraningrat,  “The  Javanese of  South  Central Java”  di  dalam  G.P.
Murdoch (ed.) (New York: 1960), hlm 88-115.
19
Van den Berg, L.W.C. De Indlandsche Titels end Rangen op Java en Madura,(Den
Haag: 1902)
20
Geertz,  Clifford,  The  Social  Context  of  Economic  Change:  An  Indonesian  Case
Study,  (Cambridge,  1956),  hlm.  84-94.  Lihat  Sartono  Kartodirdjo,  “Struktur  Sosial  dari
Masyarakat Tradisional dan Kolonial”, (Yogyakarta: Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah
Fakutas Sastra UGM) dalam Lembaran SedjarahNo. 4, 1969. hlm. 41
21
Perbudakan yang  ada di Indonesia bagaimanapun  juga  merupakan  bentuk
perbudakan  yang  lebih  manusiawi  karena  sudah  melewati  masa  pencerahan,  karena
pada  abad  ke-19,  ide-ide  pencerahan  dari  Eropa  mulai  mempengaruhi  wiliyah  Timur.
Pengeriman  paksa  yang  diminta  oleh  apara  perantara  bupati  semakin  banyak  dikritik.
Untuk hal ini lihat Wertheim, Masyarakat Indonesia, hlm. 188-191.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 234
Sistem  patrone-client  tidak  hanya melibatkan  kaum  pengusaha
asing  saja,  tetapi  juga  kaum  bangsawan  pribumi  ataupun  pejabat
pemerintah yang juga berlaku sebagai tuan tanah. Selain itu sebagian
tuan  tanah  adalah  juga  para  pemuka  agama  yang  tidak  dapat
dipisahkan dari aktivitas ekonomi pada masa itu. Para pekerja (buruh)
perkebunan  itu  tunduk  dan  sangat  banyak  tergantung  kepada  para
patrone mereka masing-masing, baik secara politis maupun ekonomis.
Jadi,  dalam  struktur  politik  maupun  sosial  ekonomi,  pemerintah
kolonial  ada  dalam  lapisan  pertama  sebagai  elite  politik,  sedangkan
para  penguasa  perkebunan,  tuan  tanah  atau  pemilik  modal  berada
dalam lapisan kedua, termasuk di dalamnya bisa juga para kyai,atau
pemuka spiritual yang memiliki lahan tanah yang cukup luas, sehingga
dapat  disebut  sebagai  tuan  tanah.  Adapun  para  petani  perkebunan
posisinya paling jelas ada di strata yang paling bawah dari tiga strata
sosial masyarakat perkebunan yang bertingkat tersebut.
Pembagian  masyarakat  secara  struktur  sosial  keagamaan  di
Bagelen  pasca  Perang  Jawa  tidak  begitu  menggambarkan  perubahan
yang  mencolok.  Secara  sosial  keagamaan  sedikit  berbeda  dengan
pembagian struktur secara politik maupun sosial ekonomi yang begitu
cepat  berubah,  hal  ini  juga  tidak  terlepas  dari  struktur  secara  sosial
budaya  yang  ada.  Masyarakat  yang  secara  sosial  menempati  strata
sosial ekonomi lebih tinggi sekaligus biasanya menggambarkan status
atau  strata  keagamaan  yang  lebih  tinggi  dari  golongan  yang  lainnya,
namun dalam masyarakat petani Bagelen ini nampaknya status sosial
secara  keagamaan  tidak  mengalami  perubahan.  Status  pemimpin
spiritual (Kyai) sebagai pemimpin masyarakat secara tradisional tetap
menempati  posisi  yang  sangat  istimewa,  meskipun  hal  ini mungkin
juga   tidak  dapat  dipisahkan  dari  faktor  sosial  ekonomis.  Secara
keagamaan  tokoh  spiritual  adalah  elite  dalam  masyarakat,  ini  dapat
dilihat  dari  ketundukan  mereka  terhadap  orang-orang  yang  berilmu
tinggi  (kejawen),  yang  mereka  sebut  sebagai  Kyai,  sedangkan para
birokrat,  yang  terdiri  dari  pamong  praja  mulai  tingkat  kabupaten
hingga pegawai rendahantidak menempati strata yang lebih tinggi dari
masyarakat  petani  secara  umum.  Secara  sosial  keagamaan   baik  para
birokrat  maupun  para  petani  sebagai  penduduk  biasa  berada  dalam
satu strata yang sama.
Demikian  pula  dalam  hal  kepemimpinan,  dalam   masyarakat
petani  Bagelen  dikenal  adanya  beberapa  model  kepemimpinan  yang
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 235
berlaku.  Secara  struktur  keagamaan  mereka  memiliki  kepemimpinan
tradisional  yang  khas.  Mereka  mempunyai  pemimpin  yang  disebut
sebagai  Kyai,  seseorang  yang  dengan  berilmu  tinggi  yang  dapat
membimbing mereka bukan hanya dalam masalah keagamaan, namun
juga  sebagai  seorang  guru  yang  serba  tahu  tentang  segala  hal,  baik
dalam  hal  hubungan  sosial  (muamalah), maupun  hubungan
peribadatan kepada Tuhan  (ibadah)hingga pengetahuan tentang ilmuilmu  gaib.  Tipe  kepemimpinan  semacam  ini  biasanya  disebut sebagai
pemimpin  yang  kharismatik.  Dalam  pengertian  ideal,  kepemimpinan
kharismatik  adalah  kepemimpinan  tradisional  yang  tuntutan
keabsahannya  didasarkan  atas  suatu  kepercayaan  yang  telah  ada
(established)pada kesucian tradisi yang amat kuno.
22
Di  samping  kepemimpinan  yang  kharismatik,  memang
masyarakat petani di Bagelen juga mengenal kepemimpinan lainyang
berbeda.  Dalam  struktur  pemerintahan  mereka  dihadapkan  kepada
model  kepemimpinan  modern,  yakni  model  kepemimpinan  birokrasi
kolonial  yang  sangat  berbeda  dengan  kepemimpinan  tradisional.
Kalaupun  mereka  patuh  dan  tunduk  kepada  para  birokrat  sebagai
pemimpin  pemerintahan,  adalah  semata-mata  karena  mereka  sedang
berkuasa bukan karena percaya bahwa mereka adalah pemimpin yang
harus  diikuti  berdasarkan  keistimewaan-keistimewaan  supranatural,
sebagaimana  yang  dimiliki  para  kyai  sebagai  pemimpin  tradisional.
Predikat  Kyai  bagi  masyarakat  Jawa  adalah  sebuah  supremasi  yang
sangat  tinggi.  Kyai  adalah  sosok  yang  sangat  tinggi  prestisenya,  di
samping  karena  ilmunya  yang  dianggap  sangat  tinggi  adalah  karena
kemutlakan  kepemimpinan  yang  diperoleh  secara  gaib  dari  kekuatan
yang maha tinggi dan maha dahsyat.
Kepatuhan  mereka  terhadap  seseorang  yang  disebut  Kyai
adalah  karena  kharisma  yang  dimilikinya,  terlebih  lagi  jika  seseorang
tersebut menjadi patrone yang menjamin keselamatan hidupnya tidak
hanya dari segi spiritual, tetapi juga secara ekonomis, karena boleh jadi
sebagian  dari  para  kyai  adalah  Tuan  tanah,  yang  menjamin
kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Jadi, secara keseluruhan boleh
dikatakan  bahwa  model  kepemimpinan  yang  ada  dalam  masyarakat
perkebunan  di  Bagelen  adalah  model  kepemimpinan  yang  sifatnya  
22
Sartono  Kartodirdjo,  Kepemimpinan  dalam  Dimensi  Sosial,  (Ed.),  cet.  Ketiga,
(Jakarta:  LP3ES,  terj.  Yayasan  Obor  Indonesia,  1990),  hlm.  166,  lihat  juga  Sartono
Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm, 42.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 236
multi,  tidak  tunggal,  tetapi  kepemimpinan  yang  bermacam-macam
karena ketundukan mereka bukan hanya kepada satu pemimpin atau
pelindung, tetapi kepada pelindung secara politis, ekonomis, dan juga
keagamaan.
Hubungan  patrone-client barangkali  memang  merupakan  satu
bentuk  yang  paling  lestari  dan  dominan  sejak  zaman  pra  kolonial
hingga  zaman  diterapkannya  sistem  tanam  paksa  maupun  sistem
ekonomi  liberal  di  lokasi-lokasi  perkebunan.  Masyarakat  petani
subsistem yang mempunyai corak kehidupan spiritualitas yang kental
dan khas Jawa, biasanya memiliki bentuk kepemimpinan ganda. Tidak
serta-merta  petani  Jawa  seperti  mereka  dapat  tunduk  kepada  suatu
bentuk kepemimpinan birokratis. Di samping mereka terpaksa tunduk
kepada  bentuk  kepemimpinan  birokratis,  yang  lebih  kuat  adalah
ketundukan  mereka  kepada  pemimpin  yang  kharismatik,  karena
pemimpin  spiritual  yang  kharismatik  pada  waktu  itu  selalu
merupakan  seseorang  yang  mempunyai  kemampuan  yang  dianggap
linuwih (memiliki  kelebihan-kelebihan),  ketimbang  pemimpin  yang
hanya  merupakan  jabatan  resmi  dari  pemerintah;  yang  mempunyai
kekuasaan  hanya  karena  jabatannya,  bukan  kharismanya.
Kepemimpinan  semacam  ini  biasanya  tidak  langgeng  dalam
masyarakat  tradisional,  seperti  halnya  dalam  masyarakat  petani  di
Bagelen, begitu pemimpin secara birokrasi tidak berkuasa lagi mereka
tidak  merasa  perku  menuruti  keinginannya  ataupun  mematuhi
perintahnya.
D. PERUBAHAN STRUKTUR BIROKRASI PEMERINTAHAN
Dengan  ditandatanganinya  surat  perjanjian  atau  kontrak
politik  27  September  1830,  antara  pemerintah  Kasultanan  Mataram
dengan  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda,  yang  berisi  tentang
pembagian wilayah administratif Jawa, dalam hal ini Bagelen termasuk
wilayah  yang  terimbas  oleh  arus  perubahan  struktur tersebut  sebagai
daerah yang dalam surat perjanjian termasuk wilayah yang diserahkan
kepada  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda,  dengan  sendirinya
Bagelen  memerlukan  adaptasi-adaptasi  struktur  maupun  kultur.
Perubahan  struktur  birokrasi  pemerintah  dapat  terlihat  di  Bagelen
setelah  selesainya  Perang  Jawa  dengan  adanya  pembagian  wilayah
secara  administratif  ini.  Sebagaimana  sudah  disebut di  depan,  bahwa
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 237
jauh  sebelum  munculnya  Perjanjian  Giyanti  kemudian  meletusnya
Perang  Jawa,  struktur  birokrasi  di  Bagelen  pada  mulanya  mengikuti
struktur  birokrasi  pemerintahan  Kasultanan  Mataram  (Vorstenlanden).
Ketika  itu  wilayah  Bagelen  masih  merupakan  bagian  dari  wilayah
negara  agung  (negaragung), yakni  lapisan  kedua  dalam  lingkaran
konsentris  Kasultanan  Mataram,  sebagaimana  Siti  Ageng  atau  Bumi
Gede,  Kedu,  dan  Pajang.  Lapisan  pertama  dari  sistem  birokrasi
Kasultanan  Mataram  adalah  Kutanegara atau  Kutagara,  dengan  Istana
atau  kerajaan  sebagai  pusat  pemerintahan  konsentris.  Lapisan  kedua
adalah  wilayah  Negara  Agung  (Negaragung), termasuk  di  dalamnya
adalah  Bagelen.  Lapisan  Ketiga  setelah  negaragung adalah  wilayah
Mancanegara (mancanegara).
Bagelen  sendiri  sebagai  wilayah  negaragung dibagi  menjadi
daerah  Sewu,  yang  terletak  di  antara  sungai  Bogowonto  dan  sungai
Donan di Cilacap, dan daerah Numbak Anyar yang terletak di  antara
sungai  Bogowonto  dan  sungai  Progo.  Bagelen,  sebagai  wilayah
negaragung masih termasuk wilayah yang dekat dengah pusat kerajaan,
tiap-tiap daerah  bagian  dikepalai  oleh  seorang Wedana  Luar  (Wedana
Jawi)sesuai dengan nama daerah bagian masing-masing. Dalam hal ini
Bagelen meliputi Wedana Sewu dan Wedana Numbak Anyar.
23
Sebagai  wilayah  negaragung yang  mempunyai  hubungan
integral  dengan  pemerintah  pusat  sebagai  sentral  Kerajaan  Mataram,
kepada wilayah tersebut pemerintah pusat berusaha menguasai  secara
ketat  pejabat-pejabat  daerah  dengan  mengharuskan  pejabat-pejabat
negaragunguntuk bertempat tinggal di ibukota kerajaan (Kutagara).Hal
demikian juga berlaku bagi beberapa bupati mancanegaradan pesisiran.
Semua itu memusatkan kekuasaan di tangan pemerintah pusat,  yakni
Raja (Sultan). Hubungan konsentris dan integrasi politikpemerintahan
daerah-pusat  diikat  dalam  bentuk  kewajiban  membayar  upeti  dari
penguasa  daerah  berupa  uang  dan  barang-barang  yang  diambil  dari
para  pedagang,  sedangkan  untuk  negaragung diwujudkan  dalam
bentuk  hubungaan  antara  raja  dan  pejabat  di  negaragung.  Untuk
negaragung Bagelen,  Adikarto  adalah  penghubung  antar  Kasultanan
Mataram  dengan  negaragung Bagelen,  karena  lokasinya  yang  sangat
strategis dan juga dekat sekali dengan Purworejo, Adikarto merupakan
daerah  Paku Alamdengan bupatinya di Wates.  
23
JL.A.  Brandes,  Register  op  de  Proza  Omzetting  van  De  Babad  Tanah  Djawi
(Uitgave van 1794), (VBG, 1900), hlm.156-159.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 238
Jika  ditengok  kembali  ke  masa  VOC,  yakni  semenjak
datangnya pengaruh VOC pada awal abad-18, kita akan melihat proses
mengenai  sistem  pembagian  wilayah  yang  selalu  mengalami
perubahan-perubahan. Setelah pemerintahan pengganti Sultan Agung,
mulai  tampak  terjadi  kemunduran-kemunduran,  berangsur-angsur
kekuasaan  Mataram  mulai  menyempit  akibat  aneksasi  VOC,  sebagai
imbalan  intervensi  perang-perang  internal.  Kemunduran  ini terus
berlangsung  dengan  mulai  pecahnya  Mataram  menjadi  dua,
Yogyakarta  dan  Surakarta  hingga  terpecahnya  Yogyakarta  ke  dalam
kekuasaan  Kasultanan  dan  Pakualam.  Bagelen  pun,  sebagai  wilayah
penting dalam hal ini juga ikut mengalami perubahan-perubahan, dari
negaragung  menjadi  mancanegara, kemudian  dari  wilayah  mancanegara
akhirnya menjadi Karesidenan Bagelen.
Ketika  pemerintah  Inggris  merebut  Jawa  dari  pemerintah
Kolonial  Hindia  Belanda  pada  tahun  1812,  Yogyakarta  dan  Surakarta
ingin  memulihkan  kekuasaannya  kembali  seperti  semula,  meskipun
kenyataannya wilayah kedua negara tersebut semakin berkurang,  dan
ketika  pulau  Jawa  kembali  ke  tangan  pemerintah  Kolonial  Hindia
Belanda,  raja-raja  Jawa  berharap  dapat  mengembalikan  kekuasaan,
tetapi  gagal  karena  ternyata  pemerintah  Hindia  Belanda
memperbaharui  semua  keputusan  pemerintah  Inggris,  sehingga
mengecewakan  Istana  Yogyakarta  dan  Surakarta  yang  memunculkan
benih permusuhan menentang Belanda hingga meletuslah Perang Jawa
atau  Perang  Diponegoro  (1825-1830).  Perang  tersebut  mengakibatkan
menyempitnya  kekuasaan  wilayah  Yogyakarta  dan  Surakarta  dan
semakin  bergantungnya  kedua  negara  tersebut  kepada  pemerintah
Hindia  Belanda.  Sejak  saat  itu  pula  Bagelen  resmi  menjadi  wilayah
karesidenan  di  bawah  kekuasaan  Hindia  Belanda  dengan  kontrakkontrak  politik  yang  telah  disetujui  oleh  kedua  belah  pihak  antara
penguasa pribumi dengan pemerintah kolonial.
Perlu dicatat bahwa sebelum penyerahan Bagelen, pada masa
pemerintahan  Inggris  terjadi  penyerahan  Kedu,  Pacitan,  Grobogan,
Blora,  Jipang,  dan  Wirasaba  (1812),  dan  setelah  selesai  Perang
Diponegoro (1831), diserahkan juga Banyumas, Bagelen, Madiun, dan
Kediri.  Dengan  demikian  hampir  seluruh  wilayah  daerah  Mataram
yang ditaklukkan Sultan Agung menjadi wilayah pemerintah Kolonial
Hindia  Belanda,  termasuk  Bagelen.  Perubahan  struktur  birokrasi
pemerintahan  daerah  yang  dimulai  oleh  Deandels  dan  Raffles  itu
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 239
dicegah oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkuasa lagi
di Indonesia.
24
Sejauh itu Bagelen masih berstatus daerah yang disebut
“Wilayah”  (dalam  bahasa  Belanda  ”Provinsi”)  yang  dibagi  menjadi
lima  kabupaten:  Ketanggung  (ketangong),  Semawung  (Semawong),
Kuto-Winangun  (Koetowinangon),  Remo  dan  Urut-Sewu  (OeroetSewu); 23 distrik, dan pusat pemerintahan di Brengkelan (Brinkeleen)
sebagai  ibu  kota. Baru  setelah  tanggal  23  Agustus  1832, sejak Adipati
Tjokronegoro I yang diangkat oleh Van den Bosch menjadi Bupati I di
Brengkelan,  daerah  Bagelen  mulai  dibangun  dan  ditingkatkan, dan
kemudian wilayah (provinsi) Bagelen dijadikan Karesidenan.Ibu kota
yang  semula  di  Brengkelan  dipindahkan  di  Kedung-Kebo,  yang
kemudian  disebut  Purworejo.  Organisasi  kepemerintahan  ada  di
bawah  kekuasaan  dua  daerah  karesidenan.  Khusus  mengenai  urusan
keuangan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Karesidenan Kedu,
sedangkan untuk urusan lainnya ada di bawah kekuasaan karesidenan
Banyumas.
25
Daerah yang semula dibagi lima kabupaten, kemudian dibagi
menjadi empat afdeelingyang terdiri dari 6 (enam) kabupaten, 23 (dua
puluh  tiga)  distrik,  tiap-tiap  distrik  dibagi  menjadi  banyak  desa  dan
kampung  (daerah-daerah  administratif  yang  terkecil).
26
Afdeeling
pertama  meliputi  dua  kota  kabupaten  yang  dijadikan  pusat
pemerintahan, yaitu Purworejo sebagai kota karesidenan dan Kutoarjo
sebagai  kota  kabupaten.  Daerah  sekitar  Purworejo  disebut  daerah
kabupaten  Purworejo  dengan  ibukota  Purworejo,  dan  daerah  sekitar
Kutoarjo disebut daerah kabupaten Kutoarjo dengan ibukota Kutoarjo.
Yang  termasuk  Afdeeling Purworejo,  masa  sebelumnya  adalah
kabupaten  Ketanggung  dan  Semawung.  Afdeeling ke  dua  adalah
Afdeeling Kebumen  dan  Karanganyar.  Kabupaten  Kebumen
sebelumnya  dinamakan  kabupaten  Kutowinangun,  dan  Kabupaten
24
ANRI  Jakarta,  Bagelen 1831,  5/10,  Verslag  der  Handelingen  van  de  Komissaris
Voor ou Overgenomen Vorstenlanden, Lawick van Pabst, 1831.
25
Arsip  Djokja  No.  11/3.  Rapport  van  den  Resident  van  Kedoe  aan  Heeren
Komissarissen  ter  Regeling  der  Zaken  In  den  Vorstenlanden,  Heudende  Verslag  van  zijn
Verplichtingen in Bagelen(Kedoe: De Resident. De dato 18 September 1830).
26
Didien Ngedinem, dalam Skripsinya menjelaskan bahwa desa adalah bagian
daerah  terkecil  yang  terletak  diluar  kota  pusat-pusat  pemerintahan  (di  daerah-daerah
pedesaan).  Dalam  kenyataan  desa  masih  dibagi-bagi  lagi  menjadi  pedukuhanpedukuhan  yang  telah  ada  jauh  sebelum  abad  XVIII.  Kampung  adalah  daerah  terkecil
yang ada dalam lingkungan daerah perkotaan ya menjadi pusat pemerintahan.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 240
Karanganyar  sebelumnya  dinamakan  Kabupaten  Remo.
27
Afdeeling ke
tiga  adalah  Afdeeling Ambal,  daerah  pinggiran  pantai  selatan
memanjang  dari  timur  ke  barat  yang  dulu  merupakan  bagian  selatan
dari  daerah-daerah  Kabupaten  Ketanggung,  Semawung,
Kutowinangun, dan Remo.  Afdeelingke empat adalah AfdeelingLedok,
sebelumnya  dinamakan  Urut  Sewu,  Ibukota  Tlogo,  yang  kemudian
menjadi Wonosobo.
Daerah  Afdeeling Ambal  dan  Ledok  masing-masing  dipegang
oleh seorang asisten Residen. Pemerintah tertinggi daerah Karesidenan
Bagelen dipegang oleh seorang residen. Residen yang pertama adalah
Ruikenar,  yang  berkedudukan  di  Purworejo.  Di  samping  jabatan
residen  ada  asisten  residen  dan  bupati.  Pemerintah  Kolonial  Hindia
Belanda  pada  waktu  itu  mengangkat  orang-orang  Belanda  dan  juga
orang-orang pribumi untuk menjadi pejabat tertentu dan  ditempatkan
di  daerah  Karesidenan  Bagelen.  Jabatan-jabatan  seperti  sekretaris
karesidenan,  kepala  kantor,  antara  lain  Kantor  pelelangan,  Yayasan
Yatim Piatu, dan Balai Peninggalan Harta Benda dari Kantor Cabang di
Semarang;  juga  sebagai  notaris,  penarik  pajak,  juru  sita,  diberikan
kepada  orang-orang  Belanda,  sedangkan  jabatan-jabatan  seperti
penghulu dan hakim diberikan kepada pribumi.
Pada  tahun  1855  Pemerintah  Kolonial  Belanda  mengeluarkan
Reglement op het Bieleid der Regering van Nederandsch-Indie(RR.) S. No. 2
tahun  1855  yang  dapat  dianggap  sebagai  UUD  Hindia  Belanda.
Dengan  RR  tahun  1855  ini  pemerintah  Kolonial  Hindia  Belanda
berusaha  mengatur  birokrasi  pemerintahan  daerah  secara  rasional,
yaitu  menyusun  suatu  hirarki  pemerintahan  dari  pusat  ke  daerahdaerah  dengan  asas  dekonsentrasi.  Wilayah  Hindia  Belanda  dibagi
menjadi  wilayah-wilayah  administratif;  Gewesten,  Afdelingen,
Onderafdelingen,  district,  dan  Onderdistrict.  Pejabatnya  terdiri  dari
Gubernur,  Residen yang  dibantu  oleh  asisten  residen,  dan  kontrolir.  Di
Jawa  mereka  membawahi  Bupati  di  setiap  kabupaten,  Bupati
membawahi  Wedana,  wedana  membawahi  camat,  dan  camat
membawahi  Kepala  Desa.  Pembagian  wilayah  yang  semula  empat
Afdeelingberubah menjadi lima  Afdeeling, enam kabupaten, dua puluh
tiga  distrik,  dan  tiga  ribu  delapan  puluh  delapan  (3.088)  desa  dan  
27
Dalam  Babad  Giyanti  daerah  Remo  dinamakan  Roma,  R  Ng.  Jasadipura  I,
Babad  Giyanti,  Pratelaan  Namaning  Tiyang  lan  Panggenan (Batavia:  Bale  Poestaka,  1939),
Serie No.1257.U, hlm. 80.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 241
kampung.  Kabupaten  Kutoarjo  yang  semula  masuk  wilayah  Afdeeling
Purworejo kemudian dijadikan Afdeeling baru.
Pada  tahun  1865  sampai  dengan  1868  pembagian  daerah
administratif  masih  tetap  seperti  tahun-tahun  sebelumnya,  lima
Afdeeling, enam kabupaten dan dua puluh tiga (23) distrik, sedangkan
jumlah  desa  dan  kampung  mengalami  penyusutan,  yakni  sebanyak
empat  ratus  enam  puluh  tiga  (463)  desa  dan  kampung.
28
Afdeeling
Purworejo,  Kutoarjo,  Ambal  dan  Ledok  masing-masing  dinamakan
daerah dan kabupaten, sedangkan Afdeeling Kebumen dibagi menjadi
Kabupaten  Kebumen  dan  Karanganyar.
29
 Dalam  perkembangan
selanjutnya pada tahun 1869-1872 Karesidenan Bagelen dibagi menjadi
enam  Afdeeling,enam kabupaten, 23 distrik dan di beberapa desa dan
kampung   mengalami  perubahan.
30
 Sebagaimana  yang  uraikan  oleh
Didien  Ng.  dari  halaman  26-41  dalam  skripsinya  bahwa  perubahan
pembagian seluruh daerah Karesidenan Bagelen dari tahun 1831-1872,
secara singkatnya adalah sebagai berikut.
1. Periode 1831-1854
Perubahan  terjadi  karena  masa  peralihan  dari  daerah
monconegoro  Kasultanan  Yogyakarta  dan  Kasunanan  Surakarta,
kemudian  menjadi  Karesidenan  di  bawah  kekuasaan  pemerintah
Kolonial  Hindia  Belanda.  Politik  Hindia  Belanda  dengan  ”Sistem
Tanam-Paksa”  memandang  perlu  adanya  perubahan-perubahan
pembagian  daerah  yang  disesuaikan  dengan  para  pejabat  yang  akan
ditugaskan.  Berhasil  atau  tidaknya  sistem  tanam  paksa  berhubungan
erat  dengan  kemampuan  para  pejabat  pelaksana  di  daerah,  berarti
berkaitan erat dengan pelaksanaan sistem tanam paksa. Periode tanam
paksa ini merupakan periode pembangunan yang menyangkut bidangbidang  pengairan,  pertanian,  dan  perhubungan,  seperti  pembuatan
jembatan  dan  jalan  yang  merupakan  sarana  penting  untuk
melaksanakan sistem tanam paksa.
28
Almanak en Naamregister van Nederlandsch-Indie voorhet Jaar 1865. (Batavia: Ter
Land-Drukkerij, 1865), hlm. 221-222, lihat  Didien Ngadinem  op. cit. tabel A dan B.,  hlm
24-26.
29
Didien Ng. op.cit., Lihat Tabel B, hlm. 25.
30
Ibid.,lihat tabel C, hlm. 27.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 242
2. Periode 1855-1863
Dalam  periode  ini,  perubahan-perubahan  pembagian  daerah
terjadi  antar  lain  karena;  pertambahan  penduduk  yang  cepat.  Karena
penduduk  merupakan  sumber  daya  yang  potensial  maka  dapat
dimanfaatkan  untuk  kepentingan-kepentingan  tanam  paksa.  Oleh
karena itu diperlukan tambahan pejabat baru untuk membimbingdan
mengawasi  cara  kerja  penduduk  pribumi  dalam  pelaksanaan  tanam
paksa.
3. Periode 1869-1873
Terjadi  perubahan  politik  pemerintah  Hindia  Belanda  dari
sistem  tanam  paksa  ke  masa  ekonomi  liberal.  Penghapusan  sistem
tanam  paksa di Karesidenan  Bagelen sebenarnya sudah  dimulai sejak
tahun  1865,  ketika  perusahaan  nila  atau  indigo  pemerintah  muai
dialihkan  kepada  perusahaan  swasta,  tetapi  baru  pada  tahun  1869
perlu  penambahan  pejabat-pejabat  di  daerah-daerah  afdeeling untuk
menangani  berbagai  kepentingan  yang  berhubungan  dengan
kepentingan  penghapusan  sistem  tanam  paksa.  Mulai  tahu  1873
pembagian daerah Karesidenan Bagelen kembali menjadi sepertitahun
1855, yaitu dibagi menjadi lima afdeelingdan lima kabupaten. Tiap-tiap
kabupaten  dibagi  menjadi  distrik-distrik.  Seluruh  daerah  kabupaten
dalam  wilayah  Karesidenan  Bagelen  dibagi  menjadi  23  distrik.
Pembagian  dalam  distrik  ini  tidak  pernah  mengalami  perubahan.
Perubahan-perubahan  yang  sering  terjadi  yang  agak  menonjol  hanya
pada daerah administratif terkecil, yaitu desa dan kampung.
Perlu  diketahui  bahwa  selama  periode  1840-1870  di  daerah
Karesidenan  Bagelen  belum  ada  pembagian  daerah  yang  disebut
“onderdistrict”baru pada akhir abad ke XIX sampai XX mulai dibentuk
daerah  onderdistrik.
31
 Pada  tahun  1873  seluruh  daerah  Karesidenan
Bagelen yang dibagi menjadi lima kabupaten hampir seluruhnya telah
berubah,  kecuali  Kabupaten  Ledok  yang  tidak  ada  perubahan.
32
Perubahan  tersebut  ialah:  Kabupaten  Ambal  sejak  tahun  1873  dibagi
menjadi tiga bagian daerah (Ambal Timur, Ambal Tengah, dan Ambal
Barat) dan masing-masing digabungkan dengan Kabupaten Purworejo,
Kebumen, dan Karanganyar, sehingga mulai saat itu Kabupaten Ambal  
31
Regering Almanak van Nederlandsch-Indie voor het Jaar 1890.(Batavia: Ter Land
Drukkerij, 1890), hlm. 84.
32
Didien, Ng. op. cit., Lihat Tabel D. hlm 30.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 243
tidak ada lagi. Pembagian daerah pada periode tersebut dimaksudkan
untuk  mempermudah  hubungan  dan  pengawasan  dari  pusat  ke
daerah-daerah  kabupaten,  juga  dimaksudkan  untuk  mengurangi
pejabat  pemerintah  yang  bertugas  selama  berlakunya  sistem  paksa  di
Bagelen (1830-1870). Pejabat-pejabat tersebut dipindahkan ke luar Jawa
untuk menangani perusahaan tanaman kopi pemerintah, antara lain di
Gorontalo  yang  dimulai  tahun  1870,  pada  tahun  yang  sama  juga
dimulai  di  Bengkulu.  Demikian  juga  karena  pada  tahun  1870  pihak
pemerintah  Belanda  di  Nederland  mulai  mengalihkan  usahanya  ke
bidang  perindustrian  dan  pendirian  berbagai  macam  bank.  Untuk
menanamkan  modal,  maka  hal  ini  akan  mempengaruhi  daerah
jajahannya di pulau Jawa; untuk memulai mendirikan berbagai  macam
bank pemerintah.
33
Mengenai  daerah  Kabupaten  Purworejo,  ia  terletak  di  ujung
sebelah  timur,  luas  daerahnya  263  paal  persegi,
34
 (  kurang  lebih  ada
597,  285887  km  2),  sebagian  besar  merupakan daerah  dataran  rendah
dan  bertanah  vulkanis  yang  subur.  Sebelum  Perang  Diponegoro
berlangsung,  kota  Purworejo  belum  ada,  dan  selama  perang
berlangsung  di  daerah  Bagelen  antara  tahun  1828-1829  Pangeran
Diponegoro  beserta  pengikutnya  memilih  daerah  Barat  sungai
Bogowonto yang dikenal dengan sebutan Gedong-Kebo sebagaidaerah
pertahanan.  Setelah  perang  berakhir  daerah  sekitar  Gedong-Kebo
dikenal  dengan  nama  Purworejo  yang  kemudian  dikembangkan
menjadi  kota.  Mulai  saat  itulah  Pemerintah  Hindia  Belanda
mengadakan  perubahan  dan  pembaharuan  secara  administratif.
Perkembangan  terus  berjalan  seiring  dengan  perkembangan  zaman.
Pemerintahan dibenahi dengan menggunakan prinsip-prinsip modern.
Salah  satu  tindakan  yang  jelas  ialah   pemerintah  Belanda  mengatur
pemerintahan  Indonesia  yang  disebutnya  sebagai  Hindia  Belanda
dengan  peraturan  perundang-undangan  yang  bersifat  rasional  yang
berdasarkan pada GrondwetBelanda tahun 1887. Sebelumnya, Grondwet
33
 Sartono  Kartodirdjo,  Lembaran  Sejarah No.  8,  “Kolonialisme  dan
Nasionalisme  di  Indonesia  pada  abad  19  dan  20”,  Cet.  Kedua,  (Yogyakarta:  Seksi
Penelitian  Jurusan  Sejarah  Fakultas  Sastra  dan  Kebudayaan  Universitas  Gadjah  Mada,
Juni, 1972), hlm. 10-12.
34
Algemeen  Verslag  der  Residensi  Bagelen  over  het  Jaar  1860. (Purworejo:  De
Residen van Bagelen den 12 februari), Eerste Afdeeling-Algemeen Bestuur, B., Bevolking,
Bagelen No. 4/1.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 244
ini  semenjak  tahun  1814  telah  mengalami  perubahan  pada  tahuntahun: 1815, 1840, 1848, 1884, 1917, 1922, dan tahun 1939.
Pasal  1  Grondwet 1887  memasukkan  Hindia  Belanda  sebagai
wilayah  Kerajaan  Belanda,  tetapi  baru  pada  tahun   1922  Grondwet
Belanda  itu  mengatur  kedudukan  hukum  ketatanegaraan  Hindia
Belanda secara tegas berdasarkan atas usul yang disampaikan oleh satu
komisi  yang  dibentuk  oleh  Gubernur  Jendral  Van  Limburg Stirum.
Dalam kaitannya dengan Bagelen, sebagai bagian wilayah administratif
Hindia  Belanda,  adalah  satu  wilayah  residensi  yang  dipimpin  oleh
seorang  Residendibantu oleh seorang  asisten residen, yang membawahi
beberapa  afdelingen dan  onderafdelingen dan  beberapa  controleer  di
beberapa distrik.
E.  MASUKNYA  SISTEM  EKONOMI  MODEREN  DAN
MUNCULNYA PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA
Semenjak  Bagelen  masih  menjadi  bagian  dari  wilayah
monconegoro  dari Kasultanan  Mataram  hingga  menjadi  Karesidenan,
Perekonomian  dan  penggunaan  tanah  sudah  mengalami  empat  kali
pergantian sistem, yakni Sistem upeti, Sistem sewa tanah, Sistem tanam
paksa,  dan  kemudian disusul oleh  Sistem  liberal.  Sistem  Upeti  terjadi
ketika  Bagelen  masih  menjadi  bagian  dari  wilayah  Kasultanan
Mataram  (vorstenlanden),  kemudian  sistem  sewa  tanah  terjadi  ketika
Bagelen berada di bawah kekuasaan Raffles atau Pemerintah Kolonial
Inggris,  sedangkan  sistem  tanam  paksa  terjadi  setelah  selesainya
Perang  Jawa,  atau  pada  masa  kekuasaan  pemerintah  kolonial  Hindia
Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Persoalan  pergantian  sistem  ini  pada  dasarnya  berkaitan  erat
sekali  dengan  ide-ide  liberalisme  yang  sebenarnya  sudah  pernah
dicoba diperkenalkan oleh Raffles, yang pada akhirnya diterapkan lagi
pada  masa  ekonomi  liberal,  yakni  setelah  dikeluarkannya  Undangundang  Agraria  (Agrarische  Wet) pada  tahun  1870.  Ketika  di  Bagelen
ataupun  wilayah  monconegoro  yang  lain  masih  berada  di  dalam
kekuasaan  Kasultanan  Mataram  (vorstenlanden),  atau  sebelum
masuknya  kekuasaan  kolonial  Inggris,  dalam  urusan  tata  guna  tanah
hanya berlaku sistem upeti. Daerah Negaragung ataupun di bawahnya
cukup  menyerahkan  hasil  buminya  sekian  persen  kepada  pemerintah
pusat (kerajaan) sebagai tanda bulubekti kepada raja atau sultan.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 245
Ketika dimulainya  sistem  sewa  tanah  yang dicoba diterapkan
oleh  Raffles,  saat  itu  Bagelen  masih  menjadi  bagian  dari  wilayah
monconegoro,  sebenarnya  saat  itu  merupakan  masa  ketika  ide-ide
liberal sudah mulai nampak digulirkan oleh Raffles. Dalam upayanya
untuk  menegakkan  suatu  kebijakan  kolonial  yang  baru,  Raffles mulai
mengemukakan  ide-ide  liberal  dan  menentang  sistem  VOC  yang
dinilainya  tidak  menguntungkan  dan  cenderung  menyengsarakan
rakyat.  Oleh  karena  itu,  dia  menggantinya  dengan  sistem  baru,  di
mana  rakyat  dibebaskan  menanam  tanaman  sesuai  dengan  jenis
tanaman  dagangan  yang  dikehendaki  yang  dapat  diekspor  ke  luar
negeri.  Dalam  hal  ini  pemerintah  hanya  berkewajiban  untuk
menciptakan  segala  pasaran  yang  diperlukan  guna  merangsang  para
petani  untuk  menanam  tanaman-tanaman  ekspor  yang  dinilai  paling
menguntungkan. Sistem ini juga berlaku di beberapa tempat di pulau
Jawa,  kecuali Batavia  dan  Parahiyangan.  Di  Jawa  Tengah  nampaknya
sistem  ini  lebih  merata  termasuk  di  Bagelen.  Sistem  sewa  tanah  ini
mengandung tiga aspek: yakni pertama; penyelenggaraan suatu sistem
pemerintahan  atas  dasar-dasar  modern  atau  sistem  Barat,  kedua;
pelaksanaan pemungutan sewa, ketiga; penanaman tanaman dagangan
untuk diekspor.
Meskipun kekuasaan Inggris ini hanya berlangsung lima tahun
(1811-1816) namun masa tersebut ternyata sangat mempengaruhi sifat
dan  arah  kebijakan  pemerintah  kolonial  pada  masa  selanjutnya.
Pelaksanaan  sistem  sewa  tanah  yang  dijadikan  dasar  kebijaksanaan
ekonomi  pemerintah  Inggris  di  bawah  Raffles,  ternyata  kemudian
diterapkan  juga  oleh  pemerintah  Belanda  sampai  tahun  1830.
Pelaksanaan  sistem  sewa  tanah  yang  dikenal  dengan  nama  Landlijk
Stelselini mengandung konsekuensi-konsekuensi yang jauh sekali atas
hubungan  pemerintah  kolonial  di  satu  pihak dan  rakyat  Indonesia  di
lain  pihak,  sebab  sistem  tersebut  berkembang  menjadi  cenderung
revolusioner,  dengan  hilangnya  unsur  paksaan  dan   digantikannya
dengan  sistem  kontrak  yang  diadakan  secara  sukarela.  Perubahan
sistem  ekonomi  ini  selanjutnya  lebih  merupakan  perubahan  sosialbudaya  yang  menggantikan  ikatan-ikatan  adat  tradisional  menjadi
sebuah  ikatan  kontrak.  Dan  di  situlah  mulai  ada  perubahan  dalam
kehidupan sosial budaya dalam masyarakat.
Dalam  kenyataannya  sistem  ini  dinilai  tidak  berhasil  untuk
menghasilkan  tanaman  ekspor,  di  samping  juga  dalam  usaha  untuk
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 246
mengesampingkan  peran  Bupati  dan  Kepala-kepala  desa  untuk
berhubungan langsung dengan petani, karena ternyata struktur feodal
tetap  berlaku  di  masyarakat  tradisional  Jawa.  Gengsi  sosial  tetap
dimiliki  oleh  para  Bupati  dan  Kepala  Desa  dalam  ikatan-ikatan
tradisional, meskipun sebenarnya peran mereka telah digantikan oleh
pejabat-pejabat Eropa, mereka tetap saja melakukan pemungutanpajak
atas  petani  secara  langsung.  Kebijaksanaan  Raffles  yang  hanya
berlangsung  lima  tahun  ini  diteruskan  oleh  pemerintahan  baru,  di
antaranya  oleh  Komisaris  Jenderal  Elout  (1826-18190),  dan  kemudian
oleh  Gubernur  Jenderal  Van  der  Capellen  (1819-1826),  dan  Komisaris
Jenderal Du Bus de Gissingnies (1826-1830).
35
Sistem Sewa Tanah baru
dihapuskan dengan datangnya seorang Gubernur Jenderal baru, yakni
Gubernur  Jenderal  Van  den  Bosch  pada  tahun  1830  yang  kemudian
menghidupkan  kembali  sistem  paksaan  dalam  penanaman  tanaman
dagangan  dalam  bentuk  yang  lebih  keras  lagi,  yang  disebut  dengan
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Seiring  dengan  berlalunya  Perang  Jawa  (1825-1830),  dan
berpindahnya  status  Bagelen  dari  bagian  wilayah  monconegoro
menjadi  wilayah  Karesidenan,  sistem  tanam  paksa  mulai  diterapkan,
dan  mulailah  Pemerintah  Hindia  Belanda  membuka  perkebunanperkebunan  dengan  mempekerjakan  para  penduduk  pribumi  sebagai
tenaga upahan yang sangat murah untuk perkebunan. Tanaman wajib
terbesar di Bagelen pada saat itu adalah tanaman nila atau indigo, atau
sering  disebut  juga  dengan  nama  tarum,  jenis  tanaman  yang
menghasilkan bahan pewarna untuk kain.
Dengan  gagalnya  sistem  sewa  tanah  atau  pajak  tanah  yang
diperkenalkan  oleh  Raffles,  pada  tahun  1830  pemerintah  Hindia
Belanda  mengangkat  Gubernur  jenderal  yang  baru  untuk  Indonesia,
yaitu Johanes Van Den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan
produksi  tanaman  ekspor  yang  terhenti  selama  sistem  sewa tanah
berlangsung.  Sistem  tanam  paksa  ini  sebenarnya  diupayakan  kembali
untuk  mengatasi  hutang  pemerintah  yang  semakin  meninggi,  yang
tidak  mampu  ditanggulangi  oleh  keuangan  Negeri  Belanda,  oleh
karena itu pemerintah kolonial berupaya mencari penanggulangannya
dengan  mencari-cari  keuntungan  di  tanah  koloninya.  Untuk itulah
Sistem Tanam Paksa  (Cultuurstelsel)ini diterapkan kembali. Dalam hal  
35
Lihat Noegroho Notosoesanto (Ed.),  Sejarah Nasional Indonesia IV, 1984, hlm.
87-95.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 247
ini  Bagelen  mempunyai  peran  yang  sangat  penting   bagi  Pemerintah
Hindia  Belanda  karena  hasil  tanaman  Indigo  di  Bagelen  termasuk
tanaman  ekspor  yang  paling  tinggi  di  Jawa  pada  saat  itu,
36
 sebelum
dihapus  karena ditemukannya  bahan  pewarna  buatan  oleh  PT.  Bayer
sekitar tahun 1870-an.
Sistem Tanam Paksa ini sebenarnya serupa dengan sistem yang
diterapkan  VOC  dulu,  yakni  dengan  penyerahan-penyerahan  wajib
(semacam upeti). Ciri utama dari sistem ini adalah diwajibkannya para
petani  atau  rakyat  pribumi  Jawa  untuk  membayar  pajak  berupa
barang,  yaitu  hasil-hasil  pertanian  mereka  dan  bukan  dalam  bentuk
uang  seperti  yang  di  terapkan  pada  masa  sistem  sewa  tanah.  Selain
sebagai  penghasil  tanaman  Indigo  yang  paling  tinggi,  para  petani  di
Bagelen ini juga menanam padi, kelapa, dan umbi-umbian. Untuk hasil
tanaman  ini  mereka  diwajibkan  untuk  menyerahkan  sebagian  hasil
tanamannya sebagai penyerahan wajib atau pengganti pajak.
Menurut  ketentuan  pokok  dari  sistem  tanam  paksa,  setiap
persetujuan yang diadakan pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat
mengenai  pemakaian  sebagian  dari  tanah  pertanian  mereka,  untuk
penanaman  tanaman  dagangan  harus  didasarkan  atas  kerelaan  dari
pihak  rakyat  tanpa  unsur  paksaan,  akan  tetapi  kenyataannya  seluruh
pelaksanaan penanaman didasarkan atas unsur paksaan.
37
Pelaksanaan
sistem  ini  menjadi  semakin  tidak  terkontrol,  dan  penyalahgunaan
kekuasaan  sering  terjadi  dilakukan  oleh  pegawai-pegawai  setempat,
dan  akhirnya  pelaksanaannya  tergantung  oleh  pejabat-pejabat
setempat.
Karesidenan Bagelen, sebagai penghasil tanaman nila (Indigo)
yang paling tinggi di Jawa mempunyai beban yang cukup berat, karena
daerah  penghasil tanaman tersebut  biasanya merupakan  daerah  yang
mengalami tekanan-tekanan yang paling berat, karena tanaman Indigo
merupakan  tanaman  yang  harus  diawasi  selama  tujuh  bulan  terusmenerus.  Hal  ini  mungkin  menjadi  beban  bagi  para  laki-laki,  karena
sering kali mereka datang dari distrik-distrik yang jauh  terpaksa harus
meninggalkan keluarga mereka dalam jangka waktu yang cukup lama,
sehingga  sawah-sawah  mereka  sering  tidak  terurus  dan  tidak
menghasilkan mata pencaharian, karena mereka dilarang keras untuk
meninggalkan pekerjaan, selama bertugas mengawasi tanaman Indigo.  
36
P.J. Veth, op. cit.hlm. 522-523. Lihat Didien Ngadiem, op. cit., (1993), hlm. 109.
37 Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22. 
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 248
Di  beberapa  bagian  daerah,  distrik  ataupun  onderdistrik  di Bagelen
keadaan  semacam  ini  mungkin  saja  terjadi,  terlebih  lagi  mengingat
jumlah besar petani yang hidup di bawah garis kemiskinan atausangat
miskin  yang  mencapai  40,15%,  yakni  mereka  yang  sama  sekali  tidak
memiliki  tanah,
38
 seperti  halnya  para  petani  yang  tinggal  di  daerah
rawa-rawa, yakni Wawar atau rawa Tambak Baya. Bagaimanapun juga
sistem  ini  ikut  mengubah  pola  kehidupan  para  petani  dari pola
pertanian  sawah  ke  pertanian  perkebunan  dengan  sistem  upah.
Dengan  berlakunya  sistem  ini  menambahkan  kesibukan  para  petani
untuk  mempertinggi  penghasilan,  baik  hasil  bumi  maupun
penghasilan tambahan di waktu-waktu luang, yang mereka lakukan di
rumah  masing-masing.  Hasil  kerja  sampingan  di  rumah  merupakan
suatu  keuntungan  tersendiri  di  luar  hasil  pertanian  dan  perkebunan
yang  sangat  tergantung  pada  aturan-aturan  pemerintah  yang  sangat
mengikat.
Dengan  dikeluarkannya  Undang-Undang  Agraria  (Agrarische
Wet)  pada tahun 1870 yang mengatur tentang tata guna tanah, maka
periode selanjutnya dapat ditandai sebagai masa ekonomi liberal (1870-1950).  Periode  ini  boleh  disebut  sebagai  masa  transisi  yang  semakin
mengarah kepada sistem ekonomi yang lebih modern yang sebenarnya
pernah dikenal sebelumnya pada masa sistem sewa tanah.
Pada masa sistem ini sudah muncul ide-ide liberal yang mulai
dicoba untuk diterapkan oleh Raffles dalam bentuk kebebasanmemilih
untuk  menanam  tanaman  dagang  bagi  para  petani.  Sistem  tersebut
ternyata gagal karena banyak terjadi kesenjangan-kesenjangan. Banyak
hal-hal  baru  yang  muncul  dan  tidak  dimengerti  oleh  masyarakat
petani,  selain  juga  tidak  nyamannya  para  penguasa  tradisional  yang
merasa  terancam  posisinya  dengan  diterapkannya  sistem  baru
tersebut,  karena  mereka  kehilangan  kesempatan  untuk  mengambil
untung dari para petani di bawah kekuasaannya.
Ketika diterapkannya sistem tanam paksa  (Cutuurstelsel)yang
sebenarnya tidak jauh beda dengan sistem yang diterapkan VOC pada
saat itu muncul lagi bentuk ketidakpuasan oleh para ahlikolonial, dan
lebih-lebih  lagi  bagi  para  petani  yang  mengalami  pemelaratan  secara
sistematis.  Para  kritikus  tanah  jajahan  mulai  mengkritik  keberadaan
sistem tersebut yang dianggapnya tidak membawa kemakmuran yang  
38
 Irawan,  “Pertanian  dan  Perekonomian  Petani:  Studi  Ekonomi  Pedesaan
Purworejo, 1870-1930” dalamLembaran SejarahVol. 1, No. 1, 1997, hlm. 15-25. 
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 249
merata.  Hal  itulah  yang  nantinya  mengakibatkan  kemiskinan  dan
gagalnya sistem yang sudah diterapkan.
Dari  kesadaran  semacam  inilah  awal  mula  munculnya  sistem
liberal,  modal  swasta  diberi  peluang  yang  seluas-luasnya  untuk
mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan besar di
Jawa  maupun  di  luar  Jawa.  Selam  ini  pihak-pihak  swasta  Belanda
maupun  pengusaha  Eropa  lainnya  mendirikan  perkebunan  kopi,  teh,
gula, dan kina. Pembukaan perusahaan perkebunan ini dimungkinkan
oleh  Undang-Undang  Agraria.  Di  satu  pihak  Undang-Undang  ini
melindungi  hak  milik  para  petani  pribumi  atas tanah  mereka,  di  lain
pihak  undang-undang  tersebut  membuka  peluang  bagi  pihak  swasta
asing untuk menyewa tanah dari rakyat pribumi.
Masuknya  ekonomi  modern  ini  juga  ditandai  dengan  adanya
penetrasi  ekonomi  uang  melalui  sistem  upah  atau  gaji,  sewa  tanah,
pasar  atau  perdagangan.  Penetrasi  ekonomi  uang  mulai  merambah
masyarakat  Indonesia,  tidak  ketinggalan  pula  masyarakat  Jawa  di
Bagelen.  Melalui  penyewaan  tanah  oleh  perusahaan-perusahaan
swasta  Belanda  untuk  dijadikan  perkebunan-perkebunan  besar
tersebut  masyarakat  mulai  bergerak  dengan  ekonomi  uang.  Selain
tanah-tanah  kosong,  tanah  yang  disewakan  juga  meliputi  tanah
persawahan.  Dengan  sistem  penanaman  silih  musim  ini  memberi
kesempatan  kepada  petani  atau  penduduk  untuk  bekerja  menjadi
buruh  harian  atau  musiman  di  perkebunan-perkebunan  besar  untuk
memperoleh uang tambahan.
Pengaruh ekonomi liberal ini tidak saja terjadi pada tanamantanaman perkebunan besar, tetapi juga dengan adanya barang-barang
impor  dari  luar  negeri  yang  dihasilkan  oleh  industri-industri  yang
sedang berkembang di negeri Belanda. Membanjirnya barang-barang
impor ke Indonesia ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi
usaha-usaha  kerajinan  rakyat  yang  tidak dapat  bersaing  dalam  harga
maupun kualitas dengan barang-barang dari luar.
Berkembangnya ekonomi uang di masa liberal ini juga ditandai
dengan  dimulai  dibukanya  bank-bank  di  Jawa  (Javasche  Bank)  yang
dibentuk  mulai  tanggal  1  April  1870.
39
 Sebagai  masyarakat  pribumi
sudah mulai melakukan investasi dalam bentuk uang, dan mereka pun
mulai  menyimpan  uang  di  Bank-Bank  Jawa.  Perkembangan  semacam  
39
Staatsblad  van  Nederlands-Indie No.34,  Javasche  Bank,  Ooktrooi  en  Reglement,
1870, hlm. 257.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 250
ini  benar-benar  merupakan  perubahan  yang  cukup  drastis  dari  segi
sosial  ekonomi,  jika  dibandingkan  dengan  beberapa  dekade
sebelumnya,  atau  sebelum  perang  Jawa.  Setidaknya,  dapat  dikatakan
di  sini  bahwa  kekalahan  dalam  perang  Jawa  telah  mengantarkan
masyarakat  Bagelen  ke  proses-proses  perubahan  sosial  ekonomis
maupun budaya secara dinamis.
Hal lain yang mengiringi pengaruh proses liberalisasi ekonomi
adalah  semakin  majunya  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  dan  juga
semakin  kuatnya  sistem  kerja modern  yang  sesuai  dengan  kebebasan
manusia, yakni sistem upahan. Walaupun demikian kebebasan di sini
bukan  sesuatu  yang  tanpa  masalah,  karena  meskipun  sistem  upahan
mencirikan  kebebasan  manusia,  namun  hal  itu  dirasakan  sebagai
sesuatu  yang  aneh  dan  tidak  sesuai  dengan  pola  hubungan  sosial
masyarakat  Indonesia  pada  masa  sebelumnya.  Pola  hubungan  yang
merupakan  untuk  kontribusi  kerja  kolektivitas  atau  pengabdian  yang
dilakukan oleh tatanan otoritas tradisional. Bagaimanapun sistem kerja
tradisional dengan sistem upeti merupakan realitas historis yang sudah
berlaku sejak lama. Apa yang diterapkan oleh raja-raja Mataram seperti
halnya  yang  dilakukan  oleh  sultan  Agung  yang  mengenakan  pajak
dalam  urutan  waktu  panen,  merupakan  satu  contoh  riil  dari  sistem
tersebut.
40
Dengan  diberlakukannya  sistem  liberal,  pola  hubungan  kerja
semakin  menjauh  dari  sistem  lama,  walaupun  sistem  upahan  sudah
dimulai  semenjak  masa  tanam  paksa  tetapi  pengaruhnya  belum
seberapa  karena  bentuk-bentuk  tradisional  masih  nampak,  namun
sistem  liberal  benar-benar  merupakan  sesuatu  yang  sama  sekali  baru
dan  sangat  mempengaruhi  perubahan  pola  hubungan  kerja
masyarakat  petani.  Salah  satu  pengaruh  lain  dari  proses  perubahan
pada masa sistem liberal, yang berkaitan langsung dengan masyarakat
petani  perkebunan  di  Bagelen  adalah  industrialisasi,  seperti
ditemukannya bahan pewarna sintetis oleh PT. Bayer. Karena harganya
jauh  lebih  murah  dibanding  nila  atau  indigo  mengakibatkan
perusahaan  bahan  pewarna  dari  tanaman  nila  tersebut  harus
mengalami  gulung  tikar,  karena  sudah  tidak  lagi  jual.  Tragedi  ini
menyebabkan tanaman nila tidak dapat dipertahankan lagi, dan lama
kelamaan  mengalami  penurunan,  hingga  areal  tanah di  Bagelen  yang  
40
B. Schrieke,Indonesian Sociological Studies: Tulisan pilihan tentang Indonesia oleh
pakar Belanda vol. II, Den Hag/Bandung: 1955), hlm. 250.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 251
semula  dijadikan  perkebunan  nila  milik  swasta  akhirnya  harus
dihapuskan dan diganti dengan tanaman-tanaman lain. Demikian juga
tanaman nila milik pribadi harus dihapus, dan mereka terpaksa  harus
menjadi  buruh  upahan.   Hanya  beberapa  perkebunan  nila  milik
pemerintah saja yang masih bertahan dan sedikit mengalami kenaikan.
Hal ini juga disebabkan karena ditutupnya perkebunan milik swasta.
41
Dengan  dihapusnya  tanaman  perkebunan  nila  atau  indigo
tersebut banyak lahan perkebunan yang akhirnya diserahkan kembali
kepada  pemerintah,  sehingga  hal  ini  mengurangi  pendapatan  bagi
penduduk  setempat  yang  semula  bekerja  sebagai  kuli  perkebunan.
Kasus ini sedikit banyak ikut mempengaruhi perubahan pola kegiatan
masyarakat  petani  sehari-hari.  Meskipun  masyarakat  petani  Bagelen
sudah mulai hidup dengan sistem upah berupa uang (EkonomiUang)
namun karena berubahnya pola kegiatan ekonomi dengan dihapusnya
perkebunan indigo, mereka harus lebih giat dengan kegiatan pertanian
milik  sendiri  untuk  memenuhi  kebutuhan  kehidupan  sehari-hari,  dan
menjadi buruh harian untuk menambah penghasilan keluarga. Terlebih
lagi bagi mereka petani yang tidak memiliki tanah sama sekali  (tlosor)
baik sebagai lahan pertanian maupun untuk sekedar tempat tinggal.
42
F. PENUTUP
Bagelen  sebagai  bekas  wilayah  negaragung  Kasultanan
Mataram  Islam  (Vorstenlanden)  dan  bekas  wilayah  Monconegoro  dari
masa  dua  kerajaan  kembar  Kasultanan  Mataram  di  Yogyakarta  dan
Kasunanan  Surakarta,  ternyata  memang  memiliki  daya  tarik
tersendiri.  Wilayah  subur  di  kawasan  Jawa  Tengah  bagian  selatan ini
terus  menjadi  lahan  yang  diperebutkan  oleh  para  elite  politik.  Tidak
heran  jika  wilayah  juga  menjadi  incaran  para  penguasa  atau  pemilik
modal  swasta  untuk  menguasainya.  Berbagai  daya  tarik  yang
dimilikinya  ini  praktis  tidak  pernah  membawa  kemakmuran  bagi
penduduknya,  tetapi  justru  menjadi  sumber  pemiskinan  masyarakat.
Kawasan  yang  merupakan  lumbung  padi  pada  masa  Kasultanan
Mataram  (Vorstenlanden)  maupun  masa  Kasultanan  Yogyakarta  dan
Kasunanan  Surakarta  ini  pada  masa  kekuasaan  pemerintah  kolonial  
41
 Sartono  Kartodirdjo  dan  Djoko  Suryo,  Sejarah  Perkebunan  di  Indonesia.
(Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 86.
42
Ibid., hlm. 188.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 252
Hindia Belanda juga menjadi kawasan perkebunan yang menghasilkan
tanaman  eksport  yang  memberikan  keuntungan  sangat  besar  bagi
pemerintah kolonial di negara Belanda.
 Perubahan-perubahan  kebijakan  dari  penguasa  yang  datang
silih berganti hanya menjadikan kawasan ini sebagai  komoditi  politik
ekonomi  yang  tak  henti-hentinya  dan  menjadikan  masyarakat  para
petani semata-mata hanya semacam alat memproduksi kekayaan bagi
para penguasa yang sedang memerintah, baik penguasa lokal maupun
penguasa  asing.  tidak  heran  juga  bahwa  di  kawasan  ini  pun  sering
memunculkan  gejolak  politik  yang  mampu  melahirkan  perlawanan
terhadap  penguasa,  walaupun  perlawanan  tersebut  sering  kali  juga
digerakkan  oleh  kepentingan-kepentingan  politik  para  penguasa.
Walaupun  demikian  kawasan  ini  memang  tercatat  memiliki  cerita
sejarah kepahlawanan yang bernuansa spiritual mistis dan keagamaan.
Salah  satunya  adalah  cerita  kepahlawanan  Pengeran  Diponegoro,
tokoh  spiritual  Jawa  Islam   yang  sempat  merepotkan  pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Peristiwa perlawanan tersebut jugalah yang
nampaknya mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah  kolonial  yang  terus  berubah-ubah.  Dari  sistem tanam
paksa hingga diterapkannya sistem ekonomi liberal yang tidak pernah
membawa  perbaikan  bagi  kehidupan  masyarakat.  Masyarakat  petani
yang  sejak  masa  prakolonial  merupakan  identitas  bagi  kawasan
tersebut.  sebagaimana  dituliskan  dalam  Babad  Tanah  Jawi,  bahwa
kawasan Bagelen adalah kawasan kekuasaan Raja Petani dari Kerajaan
Purwo  Carito.  Hal  ini  mengesankan  bahwa  Bagelen  adalah  memang
adalah  kawasan  yang  sangat  subur  hingga  menjadi  lahan  sumber
perebutan kekuasaan oleh para elite politik dari masa ke masa.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 253
DAFTAR PUSTAKA
A.J. van der Aa. Nederlandsch Oost-Indie-Beschrijving Der NederlnadscheBezittingen in Oost-Indie.Amsterdam: J.F. Schleijer, 1851.
Algemeen Verslag der Residensi Bagelen over het Jaar 1860.(Purworejo: De
Residen  van  Bagelen  den  12  Februari),  Eerste  AfdeelingAlgemeen Bestuur, B., Bevolking, Bagelen No. 4/1.
Almanak  en  Naamregister  van  Nederlandsch-Indie  voor  het  Jaar  1865.
Batavia: Ter Land-Drukkerij, 1865.
ANRI  Jakarta.  Bagelen 1831,  5/10,  Verslag  der  Handelingen  van  de
Komissaris  Voor  ou  Overgenomen  Vorstenlanden,  Lawick  van
Pabst, 1831.
Arsip  Djogja.  Original  Contract  tuschen  het  Gouverneur  Nicolas  Harting
van Wegen de Generale Nederlandsche oost-Indiesche Compagnie en
den  Sultan  Hamengcuboeana (Hamengku  Buwono)  Campemen
tot Gantie: 13 Februari 1755
Arsip  Djokja  No.  11/3.  Rapport  van  den  Resident  van  Kedoe  aan  Heeren
Komissarissen  ter  Regeling  der  Zaken  In  den  Vorstenlanden,
Heudende Verslag van zijn Verplichtingen in Bagelen. (Kedoe: De
Resident. De dato 18 September 1830).
B.  Schrieke. Indonesian  Sociological  Studies:  Tulisan  Pilihan  tentang
Indonesia oleh Pakar Belanda vol. II, Den Hag/Bandung: 1955.
Babat Tanah Jawi, Poeniko Serat Babat Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegi ing Tahun 1657. S-Gravenhage: M, Nijhoff, 1941.
CL.  Van  Doorn.  Schets  van  de  Ecomische  Ontwikkeling  der  Afdeeling
Poerworejo (Residentie Kedoe) Weltervreden: G. Kolffs Co., 1926.
D.H.  Burger.  “Structruurveranderingen  in  de  Javaansche
Samenleving”, Indonesie,III (1949-1950)
Dalam  Babad  Giyanti  daerah  Remo  dinamakan  Roma,  R  Ng.
Jasadipura  I.  Babad  Giyanti,  Pratelaan  Namaning  Tiyang  lan
Panggenan, Batavia-:Bale Poestaka, 1939, Serie No.1257.U
Didien Ngadinem. “Perkembangan Daerah Karesidenan Bagelen pada
Pertengah  Abad  XIX:  sebuah  Studi  Sejarah  Ekonomi”  Skripsi
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, 1993.
Himayatul Ittihadiyah
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 254
Doorn.  C.L. Schets  van  De  Economische  Ontwikkeling  der  Afdeeling
Poerworejo (Residentie Kedoe)Weltervreden, G.Kolffs Co., 1926:
17,  dikutip  dari  PM.  Laksono,  Tradition  in  Javanese  Social
Sturcture  Kingdom  and  Countryside, Yogyakarta:  Gadjahmada
University Press, 1990.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia
(Jakarta: Bhratara, 1983), hlm. 102.
Geertz,  Clifford.  The  Social  Context  of  Economic  Change:  An  Indonesian
Case Study. Cambridge: Cambridge University Press, 1956.
GP. Rouffer. “Voorstenlanden”Adatrechtbundels XXXIX, seri D, no. 18.
Irawan, “Pertanian dan Perekonomian Petani: Studi Ekonomi Pedesaan
Purworejo,  1870-1930”  dalam Lembaran  Sejarah Vol.  1,  No.  1,
1997.
JH. Houben Vincent. “Economic Policy In the Principalities of Central
Java  in  Nineteenth  Century  “,  in  Angus  Maddison  dan  De
Prince (ed.) The Growth in indonesia 1820-1940. Dordrecht, Foris
Publication, 1989.
JL.A. Brandes. Register op de Proza Omzetting van De Babad Tanah Djawi
(Uitgave van 1794), VBG, 1900.
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo.  Sejarah Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Kartodirdjo, Sartono.  Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Kartodirdjo, Sartono. “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan
Kolonial”,  Yogyakarta:  Seksi  Penelitian  Djurusan  Sedjarah
Fakutas Sastra UGM, dalam Lembaran SedjarahNo. 4, 1969.
Kartodirdjo,  Sartono.  Kepemimpinan  dalam  Dimensi  Sosial,  (Ed.),  cet.
Ketiga. Jakarta: LP3ES, terj. Yayasan Obor Indonesia, 1990.
Kartodirdjo,  Sartono.  Lembaran  Sejarah No.  8,  “Kolonialisme  dan
Nasionalisme di Indonesia pada abad 19 dan 20”, Cet. Kedua,
Yogyakarta:  Seksi  Penelitian  Jurusan  Sejarah  Fakultas  Sastra
dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Juni, 1972.
Koentjaraningrat,  R.M.  “The  Javanese  of  South  Central  Java”  dalam
G.P. Murdoch (ed.) New York: 1960.
Laksono. Tradition in Javanese Social Structure Kingdom and Countryside.
Yogyakarta: Gama Press, 1990.
Notosoesanto, Noegroho (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia IV, 1984.
Bagelen Pasca Perang Jawa (1830-1950)
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 255
P.J.  Veth,  Aardrijkskundig  en  Statistische  Wordenboek  van  NederlandschIndie. (Amsterdam: P.N. van Kampen, 1961). Eerste dell, A-J,
hlm. 48-49. LIhat Juga ANRI,  Bagelen no 5/10 1930, Verslag der
Handelingen  van  de  Komissaris  voor  der  overgenomen
voorstenlanden Lawick Pabs, 1831.
Paulus, B. Encyclopaedia van Nederlands-Indie. (‘S Gravenhage: Martinus
Nijhoff-Leiden: N. V v/h. E. J. Brill, 1917), Eerste Deel A –C.
Regering Almanak van Nederlandsch-Indie voor het Jaar 1890.Batavia: Ter
Land Drukkerij, 1890.
Satu Paal=  15,6.943  m,  lihat  ENI,  Encyclopaedie  van  Nederlandsch-Indie.
Tweede  druk.  J.Paulus  (ed.).  ‘S  Gravenhage  dan  Leiden;
Martinus Nijhoff dan N.V./HE. J. Brill. Paal, hlm. 226.
Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22.
Staatsblad  van  Nederlands-Indie No.34,  Javasche  Bank,  Ooktrooi  en
Reglement,1870.
TNI,  1858  “De  Toestand  van  Bagelen  in  1830”  Tijdschrift   voor
Nederlandsch-Indie, 20
st
Jaargang II.
Van  den  Berg,  L.W.C.  De  Indlandsche  Titels  end  Rangen  op  Java  en
Madura. Den Haag: 1902.
Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition, terj. Te Hague: 1959.